Gugatan Alih Kelola Migas di Aceh dengan Kementerian ESDM Dkk Berakhir Damai
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Ketua YARA Aceh, Safaruddin. [Foto: Tangkap Layar]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin menyampaikan perkembangan gugatan alih kelola Migas di Aceh dengan Kementerian ESDM, SKK Migas, BPMA dan Pertamina berakhir dengan damai.
Diketahui, gugatan tersebut dilayangkan oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Asrizal H Asnawi.
Pada Tanggal 25 Oktober 2021, YARA dan Asrizal Asnawi diundang oleh Kementerian ESDM, untuk berdiskusi bagaimana mendorong implementasi Peraturan Pemerintah PP Nomor 90 Tahun 2015. Berdasarkan regulasi tersebut ditegaskan setelah adanya BPMA di Aceh maka seluruh kontrak Migas yang ada di Aceh dari SKK Migas harus segera dialihkan ke BPMA.
"Nah sejak 2015-2021 saat ini masih ada 3 blok di Aceh yang dikelola oleh Pertamina yaitu di Rantau Peureulak kemudian di Kuala Simpang ada 2 dan itu masih berkontrak dengan Pertamina," jelas Safaruddin dalam unggahan facebook pribadi yang dikutip Dialeksis.com, Selasa (26/10/2021).
Kemudian Asrizal mengajukan gugatan meminta supaya kementerian ESDM, SKK Migas dan PT Pertamina itu melakukan perubahan kontrak, karena Pertamina ini kontraknya dengan SKK Migas.
Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh. maka Aceh harus dikecualikan dari kontrak ini dan yang dirinya dorong bersama Asrizal.
"Setelah mediasi sebulan lebih berkomunikasi akhirnya selesai dan sudah kita laporkan kepada hakim atau mediator juga ke majelis hakim dengan beberapa kesepakatan," ungkapnya.
Pertama, Asrizal akan mencabut gugatannya dan itu sudah dilakukan, sudah dimasukkan surat langsung ke Majelis Hakim dan sudah dibacakan putusan tentang keputusan perkara dan sudah selesai pencabutan perkaranya.
Kemudian, para pihak yang menjadi subjek dalam PP 23 tahun 2015 bersepakat untuk menjalankan apa yang diberitakan oleh pasal PP Nomor 23 ini untuk mengalihkan seluruh kontrak migas yang ada di Aceh itu dari SKK Migas ke BPMA.
"Jadi bukan mau merebut blok itu dari Pertamina, tetapi berkontrak. Karena selama ini kontrak itu siapapun kontraktor Migas yang ingin mengelola blok-blok Migas di Aceh berkontrak dengan negara. Nah negara itu selama ini diwakili oleh ESDM dan diberikan mandat kepada SKK Migas khusus yang di hulu, kemudian seluruh kontraktor Migas itu berkontraknya dengan SKK Migas dari Aceh sampai Papua," jelasnya lagi.
Ia menambahkan, karena Aceh ini khusus keluarlah PP 23 tahun 2015 yang memberikan hak kepada Aceh untuk lebih mengelola sendiri melalui BPMA jadi berkontrak melalui BPMA.
"Dengan adanya BPMA Pemerintah Aceh bisa lebih tahu hasil Migas yang didapat di bumi Aceh, selama ini sudah di SKK Migas cuman Pemerintah tidak bisa tahu berapa sebenarnya hasil Migas Aceh, tetapi di BPMA Gubernur tinggal panggil SKK Migas untuk hasil migas setiap tahun," ungkapnya.
Selama proses gugatan itu, Asrizal diberikan akses untuk mengetahui perkembangannya dan secara personal pun pihaknya selalu berkomunikasi dengan tim yang dalam hal ini prosesnya dikomandoi oleh SKK Migas.
"Mari kita kawal bersama, kita dalam satu perjuangan telah ada titik temu dan perlu kita kawal terus seluruh Masyarakat Aceh, ini lah yang harus kita berjuangkan untuk Aceh," pungkasnya.