Dana Pokir Dinilai Jadi Ladang Korupsi, Sering Tuai Masalah
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Ilustrasi dana pokok pikiran dewan. Foto: Ist/net
DIALEKSIS.COM | Nasional - Pokir atau pokok pikiran dewan (baca: DPRD atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) adalah istilah yang sexy dalam politik di daerah, khususnya berhubungan dengan proses penyusunan, perubahan, dan pertanggungjawaban APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
Pokir merupakan salah satu cara mengalokasikan sumberdaya ke dalam APBD melalui peran aktif anggota DPRD sebagai penyambung lidah masyarakat pemilih yang diwakilinya. Pernyataan merepresentasikan kepentingan publik atau konstituen ditegaskan pada saat pembacaan sumpah ketika pelantikan anggota DPRD dilakukan.
Sebagai representasi dari pemilih yang memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, anggota DPRD membuat keputusan politik di pemerintahan daerah. Kewenangan yang dilaksanakan oleh daerah ditetapkan pengaturan dan kedudukannya melalui peraturan daerah (Perda), di Aceh disebut qanun, yang disepakati bersama oleh kepala daerah dan DPRD. Keputusan politik tersebut dilaksanakan dalam tiga fungsi DPRD, yakni fungsi pembentukan Perda, anggaran, dan pengawasan. Semua ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, Pasal 161 UU 23/2014 menegaskan bahwa anggota DPRD berkewajiban untuk menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Hal ini senada dengan Pasal 87, 88, dan 129 PP No. 12/2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD menegaskan bahwa reses digunakan oleh DPRD untuk mendalami aspirasi dan pengaduan dari masyarakat, serta menyerap dan menindaklanjuti pengaduan dan aspirasi masyarakat tersebut.
Pokir Dewan Sering Menuai Polemik
Salah satu kasus polemik pokir yang sedang ramai diperbincangkan saat ini adalah kegiatan turnamen sepak bola antar pemuda se-Pidie Jaya dan Pidie yang dilaksanakan oleh Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Aceh dengan sumber dana berasal dari Pokir anggota DPRA Ihsanuddin dengan alokasi anggaran sebesar Rp500 Juta.
Hal ini dikarenakan total hadiah dari turnamen sepakbola itu hanya berjumlah Rp 50 juta saja. Namun, Ihsanuddin tidak tahu dengan rinci item maupun teknis terkait turnamen sepakbola tersebut.
Ia mengaku hanya menempatkan pokir tersebut untuk kegiatan turnamen sepakbola dan hanya melakukan sebatas pengawasan saja pada anggaran pokir itu.
Sontak peristiwa tersebut membuat publik bertanya-tanya. Publik menuntut penjelasan terhadap selisih anggaran yang dipakai untuk kegiatan turnamen sepakbola itu.
Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani juga menuntut hal yang sama. Askhalani meminta pihak Inspektorat untuk mengaudit kegiatan turnamen sepakbola yang bersumber dari dana aspirasi anggota dewan tersebut.
Menurut Askhalani, Inspektorat wajib bergerak melakukan audit terhadap kegiatan turnamen sepakbola ini, dikarenakan Askhalani menganggap ada sinyalemen yang mengarah kepada potensi pemanfaatan keuntungan.
Menyambung dengan pendapat GeRAK Aceh, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian juga meminta kepolisian maupun kejaksaan untuk mengusut perkara turnamen sepakbola tersebut.
Menurut Alfian, polemik turnamen sepakbola ini sudah menyebar ke publik, dan sudah sepantasnya aparat penegak hukum melakukan upaya pengusutan apakah ada potensi korupsi atau tidak.
"Saya pikir, baik itu polisi maupun kejaksaan dipersilahkan untuk memastikan apakah ada potensi korupsi atau tidak, sehingga publik tidak menduga-duga,” ujar Alfian.
Alfian menegaskan, dirinya juga tidak percaya dengan pengakuan Ihsanuddin yang tidak tahu apa-apa dengan teknis dan rinci pemakaian anggaran pada turnamen sepakbola tersebut. Karena menurut Alfian, yang namanya pokir dewan itu dikendalikan penuh seratus persen oleh pemilik pokir.
KPK Ingatkan Anggota Dewan di Aceh Soal Pokir
Dalam Rakor Pemberantasan Korupsi Terintegrasi Pimpinan DPRA dan DPRK se-Aceh bersama KPK RI, di Gedung Utama DPRA, Kamis, (15/12/2022). Deputi Koordinasi dan Supervisi KPK RI, Didik Agung Widjanarko menyebutkan, sepanjang tahun 2004 sampai semester pertama 2022, sebanyak 313 anggota DPR dan DPRD ditetapkan sebagai pelaku tindakan korupsi.
Dalam kesempatan itu, Didik mengingatkan seluruh pimpinan DPRK di Aceh itu untuk memahami kembali manajemen pokok pikiran (Pokir). Menurutnya, pada area tersebut menjadi sisi yang rawan para anggota DPR melakukan tindakan korupsi.
"Setelah disetujui dan masuk dalam APBD, pokir menjadi kewenangan eksekutif, sementara DPRD mengawasi pelaksanaan dan realisasinya," kata Didik.
Didik menyebutkan sejumlah modus anggota dewan yang berpotensi dalam melakukan tindak korupsi pada usulan Pokir. Diantaranya, melakukan intimidasi terhadap SKPD untuk mengarahkan pelaksanaan pekerjaan. Kemudian menunjuk rekanan pelaksana pekerjaan pokir dan meminta fee dengan mengatasnamakan jasa memperjuangkan proyek.
"Korupsi terjadi karena adanya niat dan kesempatan, solusinya adalah membangun keinginan agar tidak mau melakukan, selain membentuk ruang agar tidak ada kesempatan dan niat hal itu terjadi," kata Didik .