Beranda / Berita / Aceh / Cegah Hoax agar pemilu 2019 berlangsung damai

Cegah Hoax agar pemilu 2019 berlangsung damai

Jum`at, 27 April 2018 14:55 WIB

Font: Ukuran: - +


Foto: ist

DIALEKSIS.COM, Banda Aceh- Pemilu/pilpres 2019 diperkirakan akan berlangsung aman dan damai jika masyarakat pro aktif mencegah berita hoax terutama terhadap isu-isu yang berkaitan agama.

Demikian diungkapkan oleh Tgk. H. Faisal M. Ali (Ketua DPW NU Aceh dan Wk. Ketua MPU Aceh), dalam Diskusi Publik "Isu Agama Dalam Pemilu/Pilpres 2019 dan Potensi Benturan dalam Masyarakat", diselenggarakan oleh Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry bekerjasama dengan Lembaga Seuramoe Budaya pada Kamis 26 April 2018, di Aula Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry.

Diskusi ini juga menghadirkan narasumber lain Ust. Mutiara Fahmi, Lc., MA (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry), dan Dr. Firdaus, M.Hum., MA, (Dosen Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry).

Menurut Lem Faisal (panggilan akrab Tgk. H. Faisal M. Ali), memberikan pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat tentang bahayanya informasi bohong (hoax) akan mendorong berlangsungnya pemilu/pilpres 2019 yang aman dan damai. Peran ini akan efektif dilakukan oleh pemerintah dan ulama karena otoritas mereka serta pengaruhnya terhadap masyarakat sangat kuat.

Menurut Lem Faisal, pemilihan kepemimpinan saat ini sangat tergantung pada masyarakat. Perasaan, pemikiran, dan kecenderungan dari masyarakat mewarnai karakter dari pemimpin. Jika masyarakatnya masih terpengaruh oleh berita-berita bohong atau hoax, maka karakter pemimpinnya pun tidak jauh berbeda dengan keadaan masyarakatnya. Dan seorang calon pemimpin tentu akan menggunakan cara-cara yang efektif  untuk mempengaruhi masyarakat termasuk menggunakan atau memproduksi informasi hoax.

"Pemimpin itu tidak lahir dari langit, tapi produk masyarakat. jika masyarakat masih terpengaruh oleh isu-isu yang tidak baik, maka pemimpin juga seperti itu".

Lem Faisal meyakini bahwa agama dan politik harus berjalan bersama, karena agama harus mempengaruhi politik, bukan sebaliknya; politik mempengaruhi agama atau membuat penafsiran baru terhadap ajaran agama.
Menurutnya, efek negatif dari pemanfaatan isu agama dalam politik/pemilu saat ini, karena posisi politik yang mempengaruhi agama, sehingga agama hanya menjadi alat untuk meraih kekuasaan semata. Dan itu berdampak negatif  terhadap cara pandang masyarakat terhadap agama itu sendiri. Masyarakat akhirnya menjadi resisten terhadap eksistensi agama dan bahkan menolak keberadaan agama dalam bidang politik.

Padahal konsep pembedaan agama dan kekuasaan sebagai dua ranah berbeda, sampai saat ini masih belum menemukan bentuknya yang kongkrit. Di negara sekuler sekalipun, ternyata agama juga masih digunakan dalam ruang-ruang politik seperti pengambilan presiden di Amerika Serikat.

Sementara narasumber lain Mutiara Fahmi menyatakan, radikalisme tumbuh karena pemahaman dan pengamalan agama yang melampaui batas.

Menurutnya, jika penggunaan isu agama dalam pemilu/pilpres 2019 berlebihan, itu akan menjadi faktor pendorong tumbuhnya masyarakat radikal di Indonesia. Karena itu kelompok akademis dan ulama harus meningkatkan kualitas perannya dalam memberi pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat tentang ajaran Islam yang sebenarnya.

"Sejarah mencatat bahwa radikalisme itu sudah terjadi jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad Saw. Firaun adalah salah satu contoh radikalisme agama yang melampaui batas, bahkan ia mengaku diri sebagai tuhan".

Menurut Mutiara, pemahaman agama yang parsial dan tekstual menjadi unsur penyebab tumbuhnya radikalisme. Dalam sejarah Islam, kelompok khawarij termasuk kelompok radikal karena memahami agama secara parsial dan tekstual sehingga sangat mudah bagi mereka menuduh dan bahkan mengkafirkan seorang muslim. Dan fenomena saat ini telah nampak kelompok neo khawarij di seluruh dunia, golongan baru dalam Islam namun mengusung ideologi lama dari khawarij.(rel)


Keyword:


Editor :
HARIS M

riset-JSI
Komentar Anda