Beranda / Berita / Aceh / Daerah Lain Diminita Tiru Kearifan Lokal Simeulue Dalam Mitigasi Bencana

Daerah Lain Diminita Tiru Kearifan Lokal Simeulue Dalam Mitigasi Bencana

Kamis, 22 April 2021 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +



Foto : Kepala BNPB Letjen TNI Dr. (H.C.) Doni Monardo (kanan duduk) mendengarkan sambutan dari Bupati Kabupaten Simeulue Erli Hasan (kiri) saat menghadiri acara ramah tamah bersama masyarakat Pulau Simeulue, Provinsi Aceh, Rabu (21/4). (Komunikasi Kebencanaan BNPB/Danung Arifin)


DIALEKSIS.COM | Simeuleu -Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Dr. (H.C.) Doni Monardo meminta sejumlah daerah di Tanah Air untuk menggali kearifan lokal di wilayahnya masing-masing sebagai upaya mitigasi dan kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi bencana gempabumi dan tsunami, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Simeulue di Provinsi Aceh.


Usai menghadiri forum ramah tamah bersama masyarakat Pulau Simeulue, Rabu (21/4), Doni meminta apa yang dimiliki dan dirawat masyarakat Pulau Simeulue tentang kearifan lokal dalam menghadapi ‘smong’ (tsunami dalam bahasa daerah setempat) dapat ditiru oleh daerah lain.


Menurut Doni, hal itu penting mengingat fenomena alam seperti gempabumi dan tsunami adalah peristiwa yang pasti berulang. Sehingga, dengan kearifan lokal maka informasi mengenai tanda-tanda alam yang dapat memicu bencana dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat dan risiko dapat diminimalisir.


“Agar seluruh daerah itu harus menggali potensi kearifan lokalnya. Karena gempabumi dan tsunami adalah peristiwa yang berulang,” ujar Doni.


Hingga dewasa ini, waktu pengulangan gempabumi belum dapat diketahui. Teknologi modern pun juga belum mampu mendeteksi kapan peristiwa itu akan terjadi.


Akan tetapi, tanda-tanda kehadiran ‘smong’ seperti yang terjadi di Aceh pada 2004 ternyata mudah dikenali oleh masyarakat Simeulue karena mereka memiliki literasi kearifan lokal yang terus disampaikan melalui budaya tutur dari generasi ke generasi.



Kesaksian Warga


Marzuki (58) salah seorang warga Pulau Simeulue kepada BNPB menuturkan, istilah ‘smong’ mulai dikenal sejak peristiwa gempabumi dan tsunami pada 1907 silam yang secara spontan diucapkan oleh warga setelah melihat adanya gelombang tinggi air laut pascagempabumi.


Dari peristiwa itu, maka literasi tentang peristiwa tsunami kemudian diturunkan kepada anak cucu mereka hingga sekarang.


“Smong ada sejak tahun 1907 menurut cerita turun-temurun nenek moyang kami,” kata Marzuki.


“Smong itu gelombang air laut yang tinggi,” imbuhnya.


Menurut catatan dari peristiwa Tsunami Aceh 2004, lebih dari 1.700 rumah di Pulau Simeulue hancur dihantam gelombang tsunami, akan tetapi korban jiwa yang meninggal dunia hanya ada sebanyak 6 jiwa.


Marzuki lantas menceritakan bahwa masyarakat Pulau Simeulue telah melakukan nasihat nenek moyang untuk melaksanakan evakuasi mandiri besar-besaran sesaat setelah tanda-tanda alam dirasakan dalam peristiwa Tsunami Aceh 2004.


“Saat gempa 2004, saya pun tak mampu berdiri. Besar sekali getarannya. Lalu kami melihat ke laut dan ada juga yang melihat sumur. Air kemudian surut. Nah, menurut nasihat nenek moyang itu tanda-tanda Smong akan datang. Kami segera lari menjauhi pantai dan cari tempat tinggi,” kenang Marzuki.


Dari penuturan itu, maka dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal dapat dijadikan sebagai peringatan awal terhadap tanda-tanda gejala alam yang kemudian dapat mendatangkan bencana. Sehingga hal itu kemudian dapat dijadikan petunjuk dan pedoman oleh masyarakat untuk langkah mitigasi serta kesiapsiagaan.



Tak Hanya Gempabumi dan Tsunami Saja


Dalam hal ini, Doni mengatakan bahwa hakekat kearifan lokal dengan fungsi yang sama sebagai early warning system juga dapat dipakai untuk menghadapi berbagai jenis bencana lainnya yang berpotensi terjadi di seluruh daerah di Tanah Air seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung dan sebagainya.


Dengan adanya kearifan lokal tersebut, maka hal itu kemudian dapat dijadikan sebagai ujung tombak dalam membangun kesiapsiagaan dan melakukan upaya mitigasi sebagai pencegahan.


"Sebagian besar wilayah nasional kita memiliki risiko yang tinggi dari ancaman bencana, sehingga kearifan lokal salah satu menjadi ujung tombak kita membangun kesiapsiagaan dan ketangguhan masyarakat,” jelas Doni.


Dalam hal ini, upaya mengurangi risiko dan penanggulangan bencana tidak dapat hanya dilakukan oleh pemerintah saja. Namun harus ada dukungan nyata dari peran serta masyarakatnya.


"Tidak cukup Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, tetapi warga diminta untuk selalu menggali dan meningkatkan kemampuan kesiapsiagaan,” pungkasnya. (asy)




Keyword:


Editor :
Teuku Pondek

riset-JSI
Komentar Anda