Beranda / Dialog / Irfan Sofni: Perbankan Aceh Seharusnya Membantu UMKM

Irfan Sofni: Perbankan Aceh Seharusnya Membantu UMKM

Jum`at, 05 April 2019 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Irfan Sofni, Pengamat Perbankan Nasional serta pernah menjabat sebagai Direktur Umum dan SDM Bank Aceh.


Kehadiran perbankan semestinya dapat membantu masyarakat pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Tapi di Aceh, realitanya masih jauh dari harapan. Di sela-sela kesibukannya, pengamat perbankan nasional, Irfan Sofni, menyempatkan diri bertemu Dialeksis.com pada Senin (01/04/19) lalu.  

Di satu pojok Warung Dhapu Kupi, Banda Aceh, Irfan Sofni berbagi pemikiran terkait kondisi perbankan di Aceh sekarang. Berikut petikan wawancara Dialeksis dengan mantan Direktur Umum dan SDM Bank Aceh itu.

Bagaimana Anda melihat kondisikan perbankan di Aceh?

Kalau dilihat sekarang sistem perbankan di Aceh lebih banyak memberikan kredit bukan kepada sektor kecil, karena bisnis usaha kecil (UMKM_red) di Aceh sangat terbatas. Akhirnya perbankan di Aceh sebagian besar mengalihkan pembiayaannya kepada sektor-sektor lain yang tidak langsung menyentuh kehidupan masyarakat serta berorientasi pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis mikro.

Intinya perbankan hari ini lebih banyak berkolaborasi pemberian pinjaman atau kredit pembiayaan atau kredit kepada jasa konstruksi dan lainnya.

Apa yang melatarbelakangi perbankan memberikan kredit kepada jasa konstruksi?

Perbankan lebih mempercayai jasa konstruksi disebabkan kepastian pengembalian pinjaman untuk kepentingan proyek-proyek fisik atau infrastruktur, ketimbang pemberdayaan ekonomi kecil seperti home industry.

Ketika mereka (kontraktor_red) mendapatkan proyek fisik, maka mereka akan melibatkan dunia perbankan untuk meminjam dana. Jika kita analogikan, usaha mikro banyak risiko yang merugikan perbankan.

Seharusnya perbankan melakukan pembinaan atau pendampingan kepada nasabah UMKM guna memastikan penggunaan pinjaman dapat memberikan dampak positif. Kalau pun ada upaya itu di dunia perbankan, bisa dipastikan tidak berjalan ataupun stagnan.

Maksudnya bisa diperjelas?

Dibutuhkan pengenalan mendalam kepada nasabah sebelum diberikan kredit agar meminimalisir kerugian dan tepat sasaran. Minimal, bank misalnya sudah mengenal nasabahnya tiga bulan atau enam bulam sebelumnya, sehingga bank tahu apa dan siapa yang akan dibiayai. Ketika nasabah sudah dikenal, bank tidak lagi bicara soal pembiayaan penjaminan.

Intinya dalam memberikan kredit pinjaman, orientasinya pada kepercayaan bukan pada jaminan.

Jika begitu kenapa pihak perbankan tidak melakukan pendampingan atau pembinaan kepada para nasabah yang meminjam uangnya ke bank?

Karena pihak bank sendiri memiliki keterbatasan sumber daya manusia. Ke depannya pihak perbankan wajib membenahi internal mereka agar fungsi pembinaan dan pendampingan nasabah dari kalangan UMKM dapat berjalan maksimal.

Sebenarnya ada peran pemerintah untuk melakukan pendampingan kepada masyarakat Aceh sehingga mereka menjadi bankable (nasabah yang memenuhi syarat bank_red).

Sekarang, syarat utama pembiayaan kepada nasabah yaitu kepercayaan. Itulah esensi dari jaminan bank. Jadi bank begitu mengenal kemampuan bayar nasabah, mengenal kemampuan usaha nasabah, bank kemudian tidak disibukkan lagi untuk mencari jaminan tambahan.

Jaminan tambahan itu sebagai pelengkap untuk memperkirakan, menduga-duga atau memprediksi resiko kreditnya ke depan seperti apa. Sebenarnya menduga-duga risiko yang membuat ketidakpercayaan bank kepada nasabah. Kalau dari awal sudah dipastikan potensi risiko, jaminan tambahan bukanlah syarat utama tetapi jaminan kepercayaan menjadi syarat utama, sehingga tidak diperlukan lagi jaminan tambahan dari nasabah.

Misalnya bisa diberikan contoh kasus?

Kasus permintaan pembiayaan salah satu pelaku usaha rotan di Lhoknga (Aceh Besar) yang belum bisa dibiayai oleh salah satu bank milik pemerintah daerah. Hal itu lebih dikarenakan pembinaan dari awal yang bermasalah. Parahnya lagi asosiasi-asosiasi yang fokus di usaha rotan tidak melakukan pembinaan maksimal terhadap anggotanya agar menjadi bankable. 

Seharusnya pemerintah melalui dinas-dinas terkait, harus lebih tegas melakukan pendampingan dan pengevaluasian kepada asosiasi. Harus diberikan sanksi jika peran asosiasi untuk pengembangan dan pembinaan anggotanya tidak berjalan.

Jika ketiga peran dari bank, asosiasi, dan pemerintah bersinergis, maka nasabah lebih tepat guna, tepat sasaran, dan tepat manfaat terhadap penggunaan dana kreditnya dari perbankan.

Hal terpenting?

Sekarang di Aceh, antara bank dengan nasabah terputus jalinan komunikasi yang intensif. Tidak ada sistem perhatian terhadap nasabah. Bahkan bisa saja publik ataupun nasabah dapat menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari bank untuk kepentingan pemberdayaan ekonomi.

Peran siapa yang dibutuhkan agar dalam hal ini bank berjalan sesuai fungsi dan perannya?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebagai otoritas harus memonitor dan memberikan hukuman tegas kepada bank-bank yang bermasalah dan banyak melakukan penyimpangan. OJK kalau diam saja terkesan seperti melakukan pembiaran terhadap nasabah-nasabah kecil yang tidak dibina oleh lembaga-lembaga perbankan.

Idealnya OJK mengeluarkan report rutin untuk mengumumkan kepada publik terkait sehatnya perbankan di Aceh. Terpenting OJK dapat memberikan masukan kepada perbankan yang memiliki dana CSR agar ke depannya dapat digunakan untuk melakukan pembinaan terhadap nasabah kecil.

Siapa lagi yang bertanggungjawab terhadap kinerja perbankan?

Setiap bank memiliki komisarisnya. Keberadaan mereka seharusnya bekerja (untuk bank_red). Namun penilaian publik, keberadaan para komisaris hanya meletakkan nama saja tanpa menjalankan fungsi untuk menata dan memperbaiki kinerja dan pelayanan bank. Bagaimana bank bisa tunduk dan on the track jika para komisaris tidak mengawasi internalnya.

Mirisnya lagi keberadaan para komisaris tidak mengerti dan memahami tentang keilmuan perbankan, sehingga terkesan penempatannya politis, usulan, ataupun karena kepentingan pihak tertentu.

Selain OJK dan komisaris, siapa lagi yang dapat berperan memajukan dunia perbankan di Aceh?

Fungsi pengawasan bank akan dilakukan lembaga yang ditunjuk oleh undang-undang, salah satunya adalah otoritas jasa keuangan dalam fungsi pengawasan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI), kemudian fungsi pengawasan operasional adalah komisaris. 

Nah, fungsi lembaga-lembaga di luar ini ada universitas. Ini kan partner bank yang bisa lebih mudah menyosialisasikan dan memberikan saran konstruktif guna memajukan perbankan di Aceh.

Apa yang seharusnya dilakukan perbankan untuk memaksimalkan perannya terhadap pemberdayaan ekonomi kecil?

Mereka secara bersama-sama bisa membuat blue print, semacam konsep keselarasan memajukan UMKM di Aceh. Catatan pentingnya dapat memberikan contoh memajukan pada satu sektor usaha kecil di Aceh. (ahn)


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda