DIALEKSIS.COM | Aceh - Bencana banjir bandang dan longsor yang menerjang 18 kabupaten/kota di Aceh pada akhir November meninggalkan kerusakan luas. Infrastruktur dasar runtuh, layanan publik tersendat, dan manajemen pemerintahan di daerah terdampak ikut goyah. Situasi ini, menurut akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Rustam Effendi, S.E., M.Econ, membutuhkan terobosan kelembagaan yang lebih dari sekadar respons darurat.
Rustam mengusulkan pembentukan badan khusus bersifat ad-hoc yang bertugas menangani rehabilitasi dan rekonstruksi. Ia menyebut skala kerusakan kali ini “nyaris mendekati situasi pasca tsunami 2004”, bahkan dengan cakupan wilayah terdampak yang lebih luas, mulai dari Aceh Tamiang, Aceh Utara, Bireuen, Nagan Raya, Aceh Tengah, hingga Bener Meriah.
“Daya rusaknya sudah sistemik. Kita butuh satu institusi yang bekerja terarah dan terukur, mampu memobilisasi sumber daya secara cepat dan efektif,” kata Rustam kepada Dialeksis, Minggu 7 Desember 2025.
Rustam menjelaskan, badan ini harus diberi mandat terbatas namun tajam meliputi mempercepat pemulihan infrastruktur dasar, memulihkan layanan publik, dan menggerakkan kembali kegiatan sosial-ekonomi masyarakat. Dengan mandat jelas, koordinasi lintas pemerintah baik pusat maupun daerah dapat dilakukan tanpa tumpang tindih.
Ia menilai model ini akan membuat mobilisasi anggaran lebih terarah. “Tanpa institusi khusus, pekerjaan pemulihan mudah tercerai-berai. Kita kehilangan fokus, sementara kerusakan terus melebar,” ujarnya.
Rustam menekankan perlunya perencanaan berbasis data agar prioritas penanganan dapat dibuat secara objektif, terutama bagi kawasan yang mengalami lumpuh total akses, seperti Aceh Tamiang dan Aceh Utara.
Badan khusus yang ia bayangkan melibatkan unsur pemerintah pusat, pemerintah provinsi, serta daerah-daerah terdampak dari Aceh hingga Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Termasuk pula akademisi, organisasi sipil, dan perwakilan komunitas lokal.
“Bencana ini lintas-batas. Penyelesaiannya tidak bisa berpatok pada struktur administratif biasa,” kata Rustam.
Ia juga mengingatkan pentingnya mekanisme pengawasan sejak awal. Transparansi anggaran, kontrak pekerjaan, hingga jadwal realisasi harus dipublikasi terbuka. Rustam mendorong adanya panel ahli independen dan kanal pengaduan publik untuk memperkecil risiko korupsi.
Rustam memetakan dua fase pemulihan. Dalam jangka pendek, fokus diarahkan pada pembukaan akses jalan utama, pemulihan air bersih, perbaikan sarana kesehatan darurat, dan bantuan modal bagi usaha kecil yang terhenti akibat bencana.
Fase jangka menengah meliputi pembangunan rumah tahan bencana, rehabilitasi lahan pertanian, dan penguatan sistem peringatan dini.
“Kita tidak boleh sekadar membangun ulang. Harus membangun lebih tahan krisis,” katanya.
Dirinya menyebut pembiayaan pemulihan harus menjadi skema campuran meliputi anggaran negara, APBD, donor internasional, dan dukungan swasta. Namun, seluruh aliran dana wajib tercatat dan diawasi ketat.
Rustam menutup dengan penegasan bahwa Aceh membutuhkan kepemimpinan yang hadir secara nyata dan kebijakan yang tidak berlarut-larut.
“Badan khusus ini bukan obat mujarab, tapi perangkat manajerial yang membuat kita bisa bergerak cepat, tepat, dan bertanggung jawab,” ujarnya.
Menurut dia, bencana kali ini seharusnya menjadi titik balik. Pemulihan bukan hanya membangun kembali, melainkan memperbaiki kelemahan struktural agar Aceh lebih siap menghadapi krisis berikutnya.