Beranda / Analisis / Kacaunya Pemilu 2019 di Malaysia

Kacaunya Pemilu 2019 di Malaysia

Sabtu, 04 Mei 2019 17:59 WIB

Font: Ukuran: - +


Teuku Kemal Fasya

Dosen Universitas Malikussaleh Lhokseumawe. Ketua KPPS-LN 167 di Kuala Lumpur.

Pemilu Serentak 2019 yang sejak awal dibayangkan akan menjadi sejarah demokrasi elektoral yang rumit menjadi kenyataan. 

Pemilu legislatif dan presiden Indonesia 2019 di luar negeri yang berlangsung lebih awal memberikan sejumlah pelajaran. Banyak hal tidak bisa diantisipasi hanya dengan mempersiapkan seperangkat peraturan dan kompetensi penyelenggara. Ada ceruk masalah antara das Sollen dan das Sein, yang seharusnya dipraktikkan dan senyatanya dilakukan tidak terjadi. 

Pengalaman di Malaysia

Kasus di Bangi dan Kajang di Malaysia, Sidney di Australia, dan Hongkong adalah masalah, tapi sebagian besar menjadi preseden karena media sosial bergerak dengan logikanya sendiri. Meskipun demikian, situasi ini harus dihadapi.

Era post-truth dengan "Revolusi 4.0" menjadikan kasus "induktif" dan sangat lokal seolah-olah masalah umum di setiap tempat dan waktu. Para penyelenggara harus mampu mengalahkan semua "niat jahat" yang tersiar melalui media sosial. Jangan jadikan "nila setitik merusak susu sebelanga".

Penulis menghadapi situasi "kekacauan" itu, yang kemudian menyiratkan ada sumbu kekacauan yang dalam pada pelaksanaan Pemilu Serentak di basis suara luar negeri terbesar di dunia itu.

Pelaksanaan pemilihan di Malaysia sendiri berlangsung tiga tahap. Pemilihan melalui pos pada 8 April dan melalui kotak suara keliling (KSK) pada 11-13 April 2019. 14 April adalah pelaksanaan serentak menggunakan tempat pemungutan suara (TPS). Namun proses persiapannya tak lah seindah danau Singkarak, Sumatera Barat. Panitia baru mengumumkan calon peserta Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPS-LN) tepat tengah malam 13 April 2019.

Penulis sendiri baru tahu lolos sebagai KPPS-LN gelombang kedua itu pada pukul 01.15 WIB di Lhokseumawe, harus memutuskan dalam waktu satu jam untuk berangkat ke Banda Aceh dan pagi hari mendapatkan penerbangan ke Kuala Lumpur bersama tiga dosen lainnya yang lulus. Tiba di Kuala Lumpur, penulis harus mencari hotel dekat KBRI, Jalan Tun Razak Kuala Lumpur.

Info yang dibagikan di dalam grup Telegram penyelenggara menyebutkan pukul 05.00 petugas KPPS-LN sudah harus berkumpul di kedutaan untuk briefing.

Di pagi itulah "bencana" mulai terjadi. Pengumuman bahwa akan ada 255 TPS di 89 lokasi di beberapa negara bagian di Malaysia, ternyata menyusut menjadi tiga lokasi dengan 166 TPS.

Kepanikan terjadi, karena waktu untuk melaksanakan pemilihan pukul 08.00 waktu setempat belum bisa terlaksana karena banyak petugas tidak hadir. Tidak semua seberuntung penulis yang bisa mendapatkan tiket ke Kuala Lumpur bagi calon peserta dari Indonesia.

Penyusutan itu menyebabkan banyak petugas KPPS-LN "menganggur" atau mengisi TPS yang tidak hadir petugasnya. Ditambah lagi kebisuan para panitia di KBRI yang tidak memberitahukan situasi sebenarnya. 

Ada beberapa sikap "tak patut" dari panitia KBRI, tapi penulis pahami akibat kekalutan karena situasi riuh-rendah baik di dalam dan luar KBRI.

Penulis mencoba menyikapi situasi itu dengan dua cara. Pertama, mencari jalan untuk bisa membaktikan diri dalam bentuk "amal demokrasi" apapun pada pemilihan raya ini, dan kedua berkomunikasi terus dengan pihak kedutaan untuk mencari terobosan.

Akhirnya solusinya menambah lima TPS lagi di Wisma Duta dan KBRI untuk mengurai limpasan massa dari tiga lokasi pemilihan (satu lagi di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur). Lima TPS baru inilah yang kemudian menjadi solusi di tengah kegerahan pemilih yang sudah mengantri sejak pagi sehingga jumlah semua TPS menjadi 170.

Khidmat Indonesia Rantau

Meskipun di tengah kekacauan dan sikap amatiran para penyelenggara luar negeri, masalah juga harus dipilah secara komprehensif.

Pertama, kekacauan ini akibat masalah sejak hulu. Standar tinggi regulasi yang dibuat oleh elite-elite politik tidak memahami tentang tingkat pendidikan dan pengetahuan kepemiluan masyarakat Indonesia. Upaya menyederhanakan proses pemilu dengan kodifikasi undang-undang pemilu (UU No. 7 tahun 2017) malah semakin rumit dan meranjau.

Anggota DPR RI sebagai perancang undang-undang harus masuk ke relung antropologi politik warga negara Indonesia, sehingga mengerti seberapa ensiklopedis, ekstensif, dan komprehensif pengetahuan penyelenggara dalam menyerap peraturan kepemiluan yang kompleks.

Nyatanya sebagian pasal UU Pemilu gemuk itu (573 pasal) telah rontok oleh judicial review di Mahkamah Konstitusi hingga 30 kali! Terakhir putusan MK No. 20/PUU-XVII/2019 tentang daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih tetap tambahan (DPTb).

Putusan itu terobosan untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang tidak boleh dipersulit atau dihilangkan karena persoalan administratif, seperti tidak memiliki formulir pemilih (C6 atau A5) atau KTP elektronik.

Kedua, di tengah ketegangan pemilihan dan kurangnya kapasitas dan pengetahuan petugas KPPS-LN, mereka masih bisa menjalankan proses pemungutan suara secara aman, damai, dan terkendali.

Banyak petugas yang masih "imut-imut" atau telah "uzur" mau belajar cepat dan menjaga ritme kerja, meskipun ketika penulis mengecek apakah mereka pernah membaca UU No. 7 tahun 2017 dan PKPU No. 3 tahun 2019 dengan 234 pasal (jo PKPU No. 9 tahun 2019) tentang Pemungutan Penghitungan Suara, sebagian besar menjawab belum. Tentu tak mudah memiliki pengetahuan teknis KPU dan harus dilaksanakan secara cermat.

Ketiga, di tengah riuh-rendah demonstrasi, protes, dan kemarahan warga negara Indonesia di luar negeri, mereka masih menjaga nama baik bangsa. Kelompok pendukung 01 dan 02 melakukan yel-yel adu keras suara di tepi jalan, tapi tak ada yang gatal tangan melempar benda atau melakukan pemukulan. Seolah sadar, sederas apapun dukungan pada Pilpres, tindakan anarkis akan merugikan nama Indonesia.

Pihak keamanan di Malaysia pun sadar membiarkan jalan-jalan ibukota menjadi macet pada 14 April lalu. Mereka anggap itu "kendurinya orang Indonesia".

Ribuan pemilih rela mengantri, termasuk di TPS penulis yang menjadi TPS terakhir tutup demi mengakomodasi "orang Indonesia rantau" yang cukup tulen, rela berpeluh-panas dan berbasah-hujan demi menunaikan haknya sebagai warga negara. Prosa dan musikalitas demokrasi yang belum tentu tergambar di bumi Ibu Pertiwi.

Masalah terbesar yang dialami PPLN Kuala Lumpur ini harus menjadi perhatian bagi KPU dan Bawaslu, termasuk macetnya pembayaran honor KPPS-LN hingga kini; satu-satunya yang belum membayarkan honor KPPS-LN, para relawan demokrasi di tingkat paling dasar dalam ekosistem kepemiluan. 

Keyword:


Editor :
Makmur Dimila

riset-JSI
Komentar Anda