Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Protes Keras Publik Wacana Moderasi Agama

Protes Keras Publik Wacana Moderasi Agama

Sabtu, 04 Juli 2020 17:45 WIB

Font: Ukuran: - +


TNI akan dilibatkan dalam urusan kerukunan ummat beragama. Apakah sudah tepat bila TNI dilibatkan pemerintah dalam persoalan kerukunan ummat beragama di bumi Pertiwi?

Wacana yang dihembuskan Kementerian Agama, sudah memunculkan pro dan kontra. Respon publik di seluruh Indonesia bermunculan. Kementerian Agama melibatkan institusi vertikal Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat.

Model pelaksanaan peningkatan kerukunan dilakukan melalui program promosi moderasi beragama. Hal ini dikatakan Juru Bicara Kementerian Agama Oman Fathurahman.

Kerja sama program moderasi beragama dengan TNI AD bukan hal baru bagi Kemenag. Pada 2019, kata Oman, Kemenag menjalin kerja sama dengan TNI AD dalam program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD), untuk mendorong moderasi beragama.

TMMD TNI AD pada tahun lalu mengusung tema "Melalui TMMD Kita Tingkatkan Kebersamaan Umat dan Semangat Gotong Royong dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dalam mewujudkan Ketahanan Nasional’, ujar Staf Ahli Menteri Agama Fachrul Razi.

Jika ditelusuri melalui UU No. 34 tahun 2004, pasal 7 menegaskan tugas pokok TNI yaitu menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Kontradiksi jika melibatkan TNI dalam kegiatan mengurus peningkatan kerukunan umat beragama. Merujuk pada UU 34 tidak memiliki ruang bagi keterlibatan TNI dalam membantu urusan program promosi moderasi beragama.

Reaksi juga bermunculan di Bumi Aceh. Dr. Otto Syamsuddin Ishak, sosiolog Universitas Syiah Kuala, menjawab Dialeksis.com, Sabtu (04/07/2020) seputar hingar bingarnya wacana Kemenag dalam persoalan kerukunan ummat beragama, ikut memberikan buah pemikiranya soal keterlibatan TNI.

Menurut Otto, kalau pengembangan literasi keagamaan setiap individu wajib mengembangkan kehidupan beragama yang menciptakan individu yang rahmatan lilalamin. Itu konsep pokok dalam konteks merespon radikalisme,’ ujarnya.

Otto alumni Lemhanas mempertanyakan penggunaan istilah moderasi. Ia menyatakan diksi kata moderasi yang dikembangkan untuk psywar pasca WTC september 2001. Istilah ini sudah kuno tidak cocok digunakan dalam konteks kerukunan beragama.

“Secara kelembagaan, baik Kementerian Agama maupun TNI/Polri bukanlah lembaga yang otoritatif untuk pengembangan literasi keberagaman. Harus difahami Menag urusan administrasi keagamanan dan TNI/Polri bertupoksi pertahanan dan keamanaan,” rincinya.

Otto membenarkan di dalam pertahanan dan keamanan memang ada masalah kehidupan beragama, tapi bukan masalah radikalisme. Melainkan masalah kesejahteraan, kemiskinan, dan ketimpangan (ketidakadilan).

Untuk itu, Otto memberi saran pada Menang bila mau berkoordinasi dengan TNI, maka fokus saja pada pengkondisian masyarakat yang berketahanan yang tangguh terkait kehidupan di dalam dan pasca Covid 19 yang sejalan dengan perang Nubika (Nuklir, biologi, dan kimia) masa depan plus perang buzzer di dunia maya.

Respon lainya datang dari akademisi, Teuku Kemal Fasya antropolog Universitas Malikulsaleh. Menurutnya, Teuku Kamal, menjawab Dialeksis.com via selular, Sabtu (4/6/2020), masyarakat pesisir telah cukup baik dalam mengelola keberagaman.

“Mereka tidak pernah rusuh tentang perbedaan keyakinan dan tradisi keagamaan satu sama lain. Yang suka buat rusuh itu masyarakat urban, terlebih lagi masyarakat megapolitan yang persangkaan politiknya lebih besar dibandingkan kesadaran antropologis keagamaan,” tegasnya.

Kemal menambahkan, dirinya telah melakukan riset di masyarakat pulau dan masyarakat luar. Hasil temuan riset, mereka bisa hidup damai dengan beragam agama dan keyakinan.

Jadi tidak perlu TNI harus masuk diwilayah urusan itu. Lagi pula nanti malah terjadi pembengkakan anggaran yang seharusnya tidak perlu dan bisa digunakan untuk hal yang lebih urgen terkait urusan pelayanan publik, sebut Kemal Fasya pada Dialeksis.com

Pandangan serupa dikatakan akademisi senior Universitas Syiah Kuala, Mawardi Ismail. Menjawab dialeksis.com, Mawardi menuturkan, masalah agama adalah masalah sensitif tidak tepat apabila masalah kerukunan beragama itu ditangani oleh TNI. Penanganan masalah agama haruslah dengan pendekatan sosial dan cara-cara persuasif tidak dengan pendekatan keamanan.

Aksi protes atas wacana yang dihembuskan pihak Kemenag dalam mengurus persoalan kerukunan ummat beragama juga datang dari berbagai kalangan. Berbagai elemen koalisi masyarakat sipil beraksi.

Berbagai elemen masyarakat sipil itu ; Imparsial, ELSAM, ILR, LBH PERS, HRWG, PBHI, ICJR, SETARA Institute, KontraS, PILNET Indonesia, LBH Masyarakat.

Mereka membuat pernyataan bersama; pertama, pelibatan TNI dalam mengurus kerukunan beragama adalah suatu pendekatan yang keliru, sebab pelibatan TNI (pendekatan keamanan) justru berpotensi memunculkan pelanggaran HAM.

Pendekatan keamanan membuka ruang otoritarianisme karena pemerintah akan lebih mengutamakan stabilitas melalui pendekatan represif dibandingkan dialogis. Tidak ada argumen yang kuat dan masuk akal bagi Kementerian Agama untuk melibatkan TNI dalam program kerukunan umat beragama.

Nyatanya peningkatan kerukunan umat beragama selama ini lebih efektif dilakukan dengan cara-cara dialogis dibandingkan dengan pendekatan represif. Pendekatan represif hanya memunculkan kerukunan semu dan akhirnya menjadi bom waktu konflik sosial yang lebih besar sebagaimana di masa Orde Baru.

Apalagi, paradigma kerukunan umat beragama yang selama ini dipakai Pemerintah tidak disertai dengan upaya pemenuhan kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB).Khususnya terhadap kelompok minoritas agama atau keyakinan, seperti agama leluhur, kelompok aliran yang berbeda di internal keagamaan, serta penghayat kepercayaan.

Hal ini terlihat dalam kebijakan pemerintah seperti SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah dan penggunaan pasal penodaan agama yang bersifat diskriminatif. Pendekatan yang menitikberatkan pada aspek kerukunan dalam praktiknya sangat potensial melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama atau keyakinan, yang selama ini sudah terjadi atas mereka.

Kedua, meski operasi militer selain perang (OMSP) dalam kerangka tugas perbantuan dimungkinkan, tetapi pelaksanaanya diatur secara ketat oleh Pasal 7 Ayat 2 UU TNI. Pada titik ini, mengurus peningkatan kerukunan umat beragama tidak termasuk dalam tugas OMSP sebagaimana diatur UU TNI.

Apalagi, aturan main tentang pelaksanaan OMSP dalam kerangka tugas perbantuan belum juga dibentuk oleh pemerintah. Hal ini akan menimbulkan problem akuntabilitas apabila terjadi pelanggaran HAM dalam pelaksanaanya.

Lebih dari itu, pelibatan ini berpotensi bertentangan dengan Pasal 7 Ayat 3 UU TNI yang menegaskan OMSP hanya bisa dilakukan melalui keputusan politik negara dan bukan sekadar Memorandum of Understanding (MoU) atau keputusan menteri.

Rencana pelibatan TNI membantu Kemenag dalam urusan peningkatan kerukunan umat beragama sejatinya juga bertentangan dengan amanat Reformasi 1998 yakni penghapusan Dwifungsi (peran sosial-politik) ABRI.

Pemerintah sebaiknya fokus pada sejumlah agenda reformasi TNI yang tersisa seperti pembentukan aturan main OMSP dalam kerangka tugas perbantuan, reformasi peradilan militer, restrukturisasi Komando Teritorial, pemenuhan kebutuhan alutsista modern, kesejahteraan prajurit dan lain lain ketimbang menarik-narik TNI kembali dalam peran sosial-politik.

Oleh sebab itu, Koalisi Masyarakat Sipil menuntut pemerintah untuk; pertama membatalkan rencana pelibatan TNI dalam mengurusi kerukunan umat beragama hingga ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia.

Kedua mengganti pendekatan keamanan dengan pendekatan dialogis dengan melibatkan semua komunitas agama, termasuk agama-agama yang selama “tidak diakui”, agama leluhur, dan penghayat kepercayaan.

Ketiga meninjau kembali dan merumuskan ulang keterlibatan TNI dalam operasi non-perang yang merupakan campur tangan militer dalam kehidupan sipil sebagai amanat reformasi, demokrasi, dan penghapusan dwifungsi ABRI; dan keempat melanjutkan agenda reformasi TNI yang belum terselesaikan.

Kini Kemenag mewacanakan akan melibatkan TNI AD dalam persoalan kerukunan ummat beragama. Hingar bingar bermunculan, banyak pihak yang memberikan aksi protes keras atas keinginan Kemenag ini.

Di seluruh penjuru Pertiwi aksi protes itu bermunculan. Apakah Kemenag mendengarkan reaksi masyarakat yang menaruh perhatian besar soal kerukunan ummat beragama? Apakah wacana moderasi agama akan tetap dipaksakan? *** (Abiyu)



Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda