Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Tarik Menarik Kepentingan RUU HIP

Tarik Menarik Kepentingan RUU HIP

Jum`at, 03 Juli 2020 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Pemerintah memutuskan menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Alasannya bukan karena aspek subtansial atau tidak substansial dalam rancangan undang-undang itu, melainkan agar untuk sementara ini pemerintah berkonsentrasi pada penanganan pandemi wabah virus corona.

"Terkait RUU HIP, Pemerintah menunda untuk membahasnya," demikian kicauan Mahfud  Menko Polhukam di akun Twitter-nya, Selasa (16/6/2020).

Keputusan menunda tidak sama dengan membatalkan. Artinya, masih ada peluang di lain waktu bagi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahasnya lagi. 

Padahal yang publik soroti dari rancangan undang-undang itu kadar urgensinya, selain juga karena dicurigai akan membuka peluang komunisme bersemi lagi.

DPR patuh keputusan pemerintah, padahal sebelumnya fraksi partai-partai yang berbasis massa kalangan muslim, mengisyaratkan menolaknya. DPR juga yang mengusulkan rancangan undang-undang itu masuk dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020.

Pengamat Hukum dan Politik Aceh, Mawardi Ismail mengatakan, RUU HIP itu mendapat penolakan secara besar-berasan dari masyarakat di Indonesia, DPR harus menjadi pertimbangan untuk melanjutkan pembahasan RUU HIP yang kontroversial ini.

“DPR RI tentunya harus memperhatikan dan mengakomodasi aspirasi publik. DPR RI tidak boleh bertindak semaunya mentang ada kewenangan untuk itu,” kata Mawardi Ismail yang juga dosen senior Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, kepada Dialeksis.com.

Mawardi Ismail mengingatkan, sebaikan pembahasan RUU HIP yang ditolak publik ini lebih baik tidak dilanjutkan lagi, karena ada manfaatnya untuk negeri ini.   

“Terlalu riskan kalau DPR RI bermain-main dalam hal ini, paling kurang bisa dikatakan, melanjutkan pembahasan RUU HIP itu lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya,” ujar Mawardi.

DPR mengusulkan rancangan undang-undang yang belakangan populer dengan singkatan RUU HIP itu pada 22 April 2020 lalu. Usulan itu disetujui oleh manyoritas partai lama yakni PDIP, Partai Golkar, dan PPP. 

Dasar pemikirannya ialah karena sampai sekarang tidak ada undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Diusulkanlah dalam RUU itu pembentukan sejumlah badan/lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan ideologi Pancasila. Namun, yang paling kritik ialah konsep trisila dan ekasila yang termaktub dalam Pasal 7 dengan tiga ayat di dalamnya.

Dalam Ayat 1 disebutkan bahwa ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. 

Sedangkan pada Ayat 2 dijelaskan: Ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Sementara pada Ayat 3 dinyatakan: Trisila sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) terkristailisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.

Menurut Teuku Kemal Fasya Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, dalam kontek demokrasi diera keterbukaan global ini mempertahankan idiologi menjadi penting, tapi harus megubah pola.

“Mempertahankan idiologi nasional tidak bisa lagi dengan pola lama. Misalnya dengan pola idiologisasi tertutup atau top down pemaksaan dari atas, bagaimana nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan itu dipaksakan dari atas, nah itu harus dipahami polanya harus partipatis, bahwa masyarakat juga mempunyai imajinasi yang sama, untuk mengimajinasi tentang bagaimana konstruksi idiologi bangsanya,” kata Teuku Kemal Fasya, saat dihubungi Dialeksis.com.

Saat ini Menurut Teuku Kemal Fasya RUU HIP ini tidak penting bagi Indonesia, seharus yang menjadi periotas itu Undang-undang dalam tanggapan darurat, Undang-undang TNI yang sudah dibuat sejak tahun 2004, kemudian undang-undang keormasan yang sudah ada.

“Tidak ada pentingnya sebenarnya dalam kontek sekarang, kalau kita melihat tentang bagaimana RUU hadir untuk memperkuat satu sendi politik ekonomi, sosial budaya, nah yang politik itu biasa terkait dengan hukum, dengan social security, nasional security. Tetapi RUU HIP ini kalau dia masuk menjadi bagian dari intumen nasional security, atau terkait dengan undang-undang keamanan nasional itu menjadi tidak relevan,” tambah Teuku Kemal Fasya.

“Di era sekarang apa lagi sedang Covid-19 tidak penting RUU HIP, Presiden Jokowi sudah bilang bahwa seluruh energi bangsa ini bisa berdamai atau menyelamatkan diri dari pandemi Covid.

Saat ditanya kenapa PDIP, Golkar, dan PPP mengusulkan RUU HIP itu? 

“PDIP, Golkar dan PPP partai sisa-sisa orde baru semuanya, imajinasi orde baru mereka lebih kuat dibandingkan dengan imajinasi pogresif dalam melihat ekstabilitas politik dan ekonomi,” kata Dosen Unimal itu.

Ada kekhawatiran lain jika RUU itu sampai disahkan menjadi undang-undang, yakni menjadi alat penafsir tunggal Pancasila bagi penguasa sehingga nilai-nilai luhurnya menjadi sempit dan terkungkung. 

Menurut Ketua DPD PDIP Provinsi Aceh Muslahuddin Daud, RUU HIP yang usulan inisiatif dari DPR RI, dan RUU itu tidak mampu mengantika Pancasila yang sudah menjadi dasar negeri ini. 

“Tidak ada kekuatan terbesar di republik ini yang bisa menggantikan Pancasila itu, siapa pun dia,” ujar Muslahuddin Daud saat diwawancara Dialeksis.com. ?

Ideologi Pancasila itu kata Muslahuddin Daud, terdapat dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, bahkan statusnya sebagai dasar negara. Tidak mungkin PDIP menghapuskan dasar negara secara ideologi sebagai pondasi utama terbentuknya negara Indonesia.

“Pembukaan dari Undang-undang dasar itu tidak bisa dirubah, ketika kita bicara soal ini kan kita bicara hierarki konstitusi. Hierarki konstitusi kita itu yang pertama pembukaan undang-undang, mukadimah lah kalau seterusnya kan undang-undang dasar, setelah itu baru undang-undang dan selanjutnya baru apakah itu Perpres, Permen dan seterusnya,” katanya.

Sejak era reformasi dan keterbukaan global ini tidak hampir tidak ada lagi implementasi Pancasila kepada regenerasi negeri ini, sehingga saat ini butuh pola untuk memperkenal dasar-dasar pembentukan negara ini dengan memhami makna Pancasila.

“RUU HIP itu penting menurut saya, karena selama ini sejak era reformasi kan tidak ada lagi implementasi Pancasila dalam bentuk capacity building yang dimiliki oleh anak-anak republik. Kalau berkaca dahulu kita ada penataran P4 serta wajib memahami GBHN. Kegiatan itu wajib dilakukan untuk anak-anak republik secara intensif serta teratur, tidak seperti sekarang tidak ada sama sekali,” ujar pria yang akrab disapa Cek Mus.  

Menurutnya RUU HIPitu landasan teknis untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila, dia menyarankan tidak perlu dalam undang-undang tapi cukup berupa Peraturan Pemerintah (PP).

Banyak kalangan ragu terhadap RUU HIP ini, mereka menilai RUU ini bisa bagian dari mengubah Pancasila dan juga upaya mendukung partai komunis lahir kembali di negeri ini.

“Saya memang curiga mereka itu tidak begitu paham cerita. Seharusnya secara utuh dan komprehensif memahami maksud dan tujuan atas usulan RUU HIP. Baiknya dibuka ruang diskusi secara masif dan terbuka ke publik agar seluruh rakyat Indonesia memahami serta tersosialisasi dengan baik. Terpenting ruang berdialektika wajib dilakukan dalam memahami secara mendalam akan RUU HIP itu sendiri,” katanya.

“Sekali lagi perlu dipelajari sejarah terbentuknya Pancasila mulai dari perdebatan pemikiran hingga lahirnya Pancasila itu. Masalahnya kita selaku masyarakat Indonesia minim dan malas memahami sejarah sehingga mudah dibawa arus atas informasi yang tidak benar, bahkan dimainkan pihak-pihak yang bertujuan membuat pecah bangsa dan negara ini,” katanya.   

Isi RUU HIP 

Dalam RUU HIP ada 10 bab yang terdiri dari 60 pasal. Berikut rinciannya: 

1. Ketentuan Umum, memuat 1 pasal 

2. Haluan Ideologi Pancasila, memuat 5 bagian dan 17 pasal

3. Haluan Ideologi Pancasila Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional, memuat 15 pasal 

4. Haluan Ideologi Pancasila Sebagai Pedoman Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, memuat 3 pasal 

5. Haluan Ideologi Pancasila Sebagai Pedoman Sistem Nasional Kependudukan dan Keluarga, memuat 3 pasal. 

6. Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, memuat 3 bagian dan 15 pasal 

7. Partisipasi Masyarakat, memuat 1 pasal 

8. Pendanaan, memuat 1 pasal 

9. Ketentuan Peralihan, memuat 1 pasal 

10. Ketentuan Penutup, memuat 3 pasal

Apa yang jadi polemik? 

Trisila dan Ekasila Banyak pihak menyoroti adanya konsep Trisila dan Ekasila dalam salah satu pasal pada RUU HIP. 

Kedua konsep tersebut termaktub dalam Bab II Pasal 7 yang berbunyi: 

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. 

(2) Ciri pokok pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. 

(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong. 

Di antara pihak yang menyoroti dua konsep tersebut adalah Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas. 

Menurut Anwar, memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila merupakan bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Sebab, Pancasila sebagai norma fundamental harus dilihat dalam satu kesatuan utuh dan tak bisa dipisahkan. Urutannya pun tak boleh diubah. (Zulkarnaini)

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda