Beranda / Feature / Proyek Strategi Nasional Sudah Menghasilkan Konflik Agraria dan Perampasan Tanah

Proyek Strategi Nasional Sudah Menghasilkan Konflik Agraria dan Perampasan Tanah

Sabtu, 30 September 2023 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Ilustrasi


DIALEKSIS.COM| Feature - Bukalah catatan sejarah yang kelam, ketika terjadi pertikaian antara ibu dan dalam membangun sebuah negeri. Lukanya mendalam, menyisakan bekas di relung hati. Konflik yang dihasilkan dari sebuah obsesi.

Letusan konflik soal lahan antara masyarakat dengan pihak investor, pelaksana kegiatan proyek di bumi pertiwi, ledakanya bagai bara dalam sekam. Satu persatu kasusnya dari semua sektor kegiatan, bermunculan kepermukaan.

Rempang misalnya, hingga kini kasusnya masih memanas dan membekas di hati masyarakat, muncul pula ledakan di Gorontalo, berdampak terbakarnya kantor bupati. Demikian dengan sejumlah daerah lainya di Indonesia, gesekan antara masyarakat dan penguasa masih belum reda. Ada saja persoalan yang muncul.

Sebuah data yang mengejutkan, sejak kurun waktu delapan tahun, akibat Proyek Strategi Nasional (PSN) ada 73 konflik agraria yang muaranya masih menyisakan kekecewaan di hati masyarakat, khususnya mereka yang terkena dampak langsung.

Konflik yang menjadi catatan sejarah dalam sebuah pembangunan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan ada 73 konflik agraria yang terjadi dalam kurun waktu delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo akibat proyek strategis nasional (PSN).

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika dalam penjelasanya menyebutkan, konflik agraria itu terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari pertanian, tambang, hingga pembangunan properti.

"KPA mencatat sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2023, telah terjadi 73 letusan konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional, yang terjadi di seluruh sektor pembangunan baik sektor infrastruktur, pembangunan properti, pertanian, agribisnis, pesisir, dan tambang," kata Dewi dalam diskusi Peringatan Hari Tani Nasional 2023 yang disiarkan daring, Minggu (24/9/2023) seperti dilansir berbagai media.

Dewi merincikan, proyek yang menyebabkan konflik lahan tersebut antara lain pembangunan sirkuit Mandalika Nusa Tenggara Barat (NTB), Bendungan Bulango Ulu Gorontalo, pembangunan tol Padang-Pekanbaru, dan proyek kawasan ekonomi khusus di Gresik, pembangunan PLTA di Pinrang.

Kemudian penambangan Wadas untuk Bendungan Bener, proyek Movieland MNC Lido City Sukabumi, proyek lumbung pangan atau food estate di Sumatera Utara, pembangunan Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara.

Lalu, Bandara Kayong Utara di Kalimantan Barat, Bendungan Karalloe di Goa, Waduk Lambo di Nusa Tenggara Timur, tol Serang-Panimbang, tol Balikpapan dan Samarinda, pembangunan PLTU Muna, serta proyek cetak sawah baru di Pulau Pisang Kalimantan.

Selanjutnya, pembangunan Waduk Sepaku Semoi yang jadi infrastruktur penunjang ibu kota negara di Kalimantan Timur, pembangunan bandara dan kilang minyak di Air Bangis Sumatera Barat, proyek tambang pasir Royal Boskalis, serta pengadaan tanah bagi infrastruktur penunjang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Pulau Komodo dengan menggusur Hutan Bowosie oleh badan otorita Labuan Bajo.

“Itulah proyek-proyek strategis nasional yang sepanjang 3 tahun terakhir telah menyebabkan perampasan tanah dan letusan konflik agraria di berbagai wilayah tanah air," ucap Dewi.

Dewi juga menyebutkan, peristiwa di Pulau Rempang, Batam, termasuk dalam konflik agraria akibat proyek strategis nasional. Dia menilai pecahnya konflik di Rempang salah satunya akibat pembentukan badan atau lembaga yang terlalu berkuasa oleh pemerintah.

Rempang dikelola Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam. Dewi berpandangan badan semacam ini rentan melakukan kesewenang-wenangan kekuasaan dan korupsi agraria karena mengantongi begitu banyak kewenangan dan aset negara.

"Inilah praktik domein verklaring tanah hutan terhadap tanah serta perkampungan warga yang berujung pada penggusuran dan pematokan tanah secara paksa oleh pemerintah," ucap dia.

Sebuah pernyataan yang mewakili rakyat yang terampas hak-haknya akibat sebuah pekerjaan besar di Bumi Pertiwi. Pertikaian antara ibu dan anak.

Lihat juga bagaimana hingar bingarnya megaproyek ibu kota negara (IKN) baru di kawasan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara . Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memprediksi bahwa megaproyek ibu kota negara (IKN) baru di kawasan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara bakal memicu konflik agraria yang luas. 

Ketua Departemen Bidang Advokasi Kebijakan KPA, Roni Septian Maulana, seperti dilansir Kompas.com, membandingkan megaproyek ini dengan proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang selama ini juga banyak memicu konflik agraria, baik pembangunan bandara, bendungan, jalan tol, PLTA, dan lain-lain. 

Roni mengungkapkan, potensi konflik di kawasan IKN bisa sangat luas karena megaproyek ini saja mencakup 256.142 hektar. Luasan itu berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN. Dari segi jumlah masyarakat adat saja, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada akhir 2021 lalu telah mengidentifikasi sedikitnya 20.000 orang akan terdampak pembangunan megaproyek IKN. 

Jumlah itu belum menghitung jumlah masyarakat lokal lain yang tidak termasuk dalam komunitas masyarakat adat, namun ruang hidupnya juga kemungkinan bakal terampas. Sebelum kehadiran megaproyek IKN saja, banyak kawasan di Kalimantan Timur sudah mengalami konflik agraria akibat tumpang tindih lahan konsesi perusahaan. 

KPA mencatat, dalam 5 tahun terakhir, sedikitnya muncul 50 konflik agraria dengan luas 64.000 hektar terjadi di Kalimantan Timur. 

"Bayangkan ini ada 200-an ribu hektar kawasan di Kalimantan Timur yang akan menjadi wilayah ibukota negara baru. Bisa terbayang bagaimana konflik ini tentu akan sangat luas," kata Roni. 

"Intervensi aparat bersenjata tentu akan ditemukan di wilayah-wilayah, karena mereka akan beralasan mengamankan proses pembangunan Pak Jokowi, sehingga konflik agraria mau tidak mau akan dihadapi oleh rakyat di Kalimantan itu," jelasnya.

Satu persatu kasus konflik tanah antara PSN dengan masyarakat menggurita di bumi Pertiwi, hingga saat ini seperti penjelasan sekretaris KPA, Dewi Kartika, sudah ada 73 konflik tanah yang dihasilkan akibat PSN.

Rakyat bukan tidak mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan. Justru masyarakat sangat berharap pemerintah membangun negeri ini agar rakyatnya hidup sejahtera.

Namun dalam menapaki hidup di tanah leluhurnya, sebagai anak bangsa, rakyat juga ingin kedamaian dan kenyamanan, hak-hak mereka dilindungi. Silakan negara melakukan pembangunan, namun hak dan nasib rakyat juga harus diutamakan, bukan menghasilkan konflik yang menyayat luka di hati.

Sejarah sudah mencatat, hingga kini akibat dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) sudah menghasilkan 73 konflik agrarian. Sebuah sejarah kelam yang menusuk relung hati penghuni bumi pertiwi.

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda