Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Gedung Oncology, Antara Asa dan Realita

Gedung Oncology, Antara Asa dan Realita

Kamis, 27 Februari 2020 07:00 WIB

Font: Ukuran: - +


[dok. Dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kanker masih menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat. Jika tak ditangani secara tepat dan cepat, sering sekali penyakit ini akan berujung pada kematian. 

Kementerian Kesehatan menyebutkan prevalensi (angka kejadian) penyakit kanker di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi kanker di Indonesia mencapai 1.79 per 1000 penduduk, naik dari tahun 2013 sebanyak 1.4 per 1000 penduduk.

Lalu, bagaimana dengan Aceh?

Menurut Ketua Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Provinsi Aceh Darwati A Gani, penderita kanker di Aceh setiap tahunnya terus meningkat.

"Yang pasti dari tahun ke tahun pasien kanker di Aceh terus meningkat drastis, mulai dari orang tua hingga anak-anak," ucap Darwati A Gani saat dihubungi Dialeksis.com melalui pesan singkat di media sosial instagram, Minggu, (23/2/2020).

Senada dengan Darwati, Founder Children Cancer Care Community (C-Four), sebuah lembaga yang focus pada pendampingan penderita kanker anak di Aceh, Ratna Eliza menegaskan hal yang sama. Menurutnya penyakit yang tak kenal usia ini bisa saja menyerang pada siapa saja, baik laki perempuan, mau pun miskin dan kaya.

"Namun fenomenanya selama ini, penderita kanker didominasi oleh masyarakat yang ekonominya kurang mampu," ujar Ratna Eliza melalui sambungan selular, Minggu, (23/2/2020).

Wanita yang dikenal aktif mengadvokasi dan memberikan pendampingan terhadap pasien kanker anak ini menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan penyakit kanker sulit diatasi. Berdasarkan pengalamannya, banyak pasien yang didampinginya sudah pada stadium akhir. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang penyakit kanker.

"Pertama soal edukasi. Masyarakat kita kurang paham dengan apa itu kanker," sebut Ratna.

Kedua, lanjutnya, persoalan biaya masih menjadi kendala utama bagi pasien kanker. Tidak dipungkiri, biaya kesehatan bagi penderita kanker lumayan mahal. Sementara, sambungnya, perhatian pemerintah terhadap pasien masih sangat minim.

"Kalau pasien dirujuk, memang tiket penerbangan untuk pasien dan satu pendamping ditanggung BPJS. Namun, bagaimana dengan biaya hidup dan transportasi selama disana. Kadang-kadang banyak pasien yang memilih pasrah dan menyerah karena persoalan ketiadaan biaya. Ya persoalan ekonomi lah," tutur Ratna.

Dia melanjutkan, persoalan ketiga yang tak kalah penting adalah soal ketiadaan fasilitas penyembuhan bagi penderita kanker di rumah sakit Aceh.

"Di Banda Aceh itu tidak ada radio terapi sehingga harus dirujuk ke rumah sakit luar," jelas nya.

Kalaupun ada fasilitas penyembuhan kanker di Banda Aceh, tentu saya senang sekali. Karena sudah pasti akan terbantu dari efektifitas biaya. Menurut saya di Banda Aceh sudah harus ada fasilitas itu. " tambah Ratna.

Merujuk pada urgensi gedung oncology sebagai sebuah solusi atas penyakit kanker, menjadi sebuah hal yang wajar bagi masyarakat Aceh berharap banyak akan kehadiran gedung oncology. Kehadiran fasilitas oncology di rumah sakit menjadi sebuah kebutuhan dan 'secercah harapan' bagi penderita kanker di Aceh agar terbebaskan dari penyakit yang mematikan itu.

Carut Marut Proyek Oncology

Namun, kenyataan tak seindah harapan. Kira-kira demikian ungkapan yang tepat menggambarkan pembangunan gedung oncology saat ini. Faktanya, sarana yang sangat dibutuhkan oleh penderita kanker itu tak pernah ada. Hal tak terbantahkan lainnya, telah dua kali Pemerintah Aceh membangun gedung oncology, namun realisasinya berujung pada kegagalan. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Dialeksis.com mencoba menelusuri rekam jejak pengadaan proyek ini.

Seperti yang telah diketahui, pembangunan gedung oncology pertama sekali dilaksanakan pada tahun 2017. Berdasarkan penelusuran media ini pada website lpse.acehprov.go.id, proyek yang bersumber dari dana otsus tahun 2017 itu dimenangkan oleh PT Araz Mulia Mandiri. Namun, pengerjaan kegiatan bernilai Rp 39.813.500.000 itu urung dilaksanakan. Pasalnya, perusahaan yang berasal dari Lhokseumawe tersebut dinyatakan masuk dalam perusahaan daftar hitam Indonesia.

Pada tahun 2018, melalui Satker RSUZA, Pemerintah Aceh kembali memasukkan pembangunan gedung oncology sebagai salah satu kegiatannya.

Saat itu, lelang kegiatan untuk pembangunan gedung oncology center ini bernilai Rp 22 milyar dan diikuti oleh 133 peserta. Pengerjaan proyek milyaran itu dimenangkan oleh PT Boriandy Putra.

Tapi, untuk kedua kalinya, panitia tender kembali mengulang kesalahan tahun sebelumnya. Ibarat pepatah, 'terperosok di lubang yang sama'. Panitia kembali menetapkan perusahaan yang telah di blacklist (daftar hitam) sebagai pemenang. Kontrak pun diputuskan alias dibatalkan.

Informasi pemutusan kontrak ini disampaikan langsung oleh direktur RSUZA, Dr.dr.Azharuddin,Sp.OT. K-Spine, FICS.

"Sudah diputuskan kontraknya dan sudah ditindak lanjut oleh Kuasa Pengguna Anggaran," kata Azharuddin, Kamis, (2/8/2018), seperti dilansir AJNN.

Mengingat pentingnya sarana kesehatan ini, Pemerintah Aceh pada tahun 2019, kembali melanjutkan pembangunan gedung oncology dengan anggaran Rp 237.086.370.000. Setelah melalui seluruh proses dan tahapan, kolom pemenang pada website lpse.acehprov.go.id diisi oleh PT. Adhi Persada Agung. Sah, gedung oncology dapat dilanjutkan kembali.

Namun, apa lacur. Pembangunan fasilitas kesehatan yang sangat didambakan oleh masyarakat Aceh itu kembali menuai masalah. Kelompok kerja (Pokja) Biro Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah Aceh, diduga menyalahgunakan wewenang dalam menetapkan pemenang tender Pembangunan Gedung Oncology Centre pada Satuan Kerja BLUD Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh.

Adalah PT MAM Energindo yang merasa dirugikan atas tindakan Pokja Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat. Perusahaan ini merupakan 1 dari 159 peserta yang mencoba 'peruntungan' mengerjakan proyek ratusan milyar tersebut.

Berdasarkan surat sanggahan yang dilakukan PT MAM Energindo, dijelaskan bahwa telah terjadi kesalahan fatal yang merugikan pihaknya. Kuasa hukum PT MAM Energindo, Mukhlis Mukhtar mengatakan pihaknya menduga telah terjadi konspirasi jahat yang dilakukan Pokja dengan cara mengubah persyaratan tender, yang kemudian menjadi alasan menggugurkan perusahaan yang turut mengikuti tender.

"Kami minta ini ditender ulang, kami bisa buktikan pelanggaran itu. Selain itu, kami mencium adanya dugaan konspirasi," kata Mukhlis Mukhtar, seperti dilansir AJNN, Kamis (2/1/2020).

Masih menurut Mukhlis, dugaan konspirasi itu mencuat karena dalam tahapan tender barang-barang pemerintah untuk tahun jamak (multiyears) memiliki dua tahapan, yaitu tahapan prakualifikasi dan tahapan pelaksanaan tender.

Pada tahap prakualifikasi, PT MAM Energindo sudah dinyatakan lulus dan diperbolehkan mengikuti tahapan selanjutnya yakni tender. Saat itu, peserta yang dinyatakan lulus prakualifikasi ada tujuh perusahaan, namun saat tahapan tender 6 diantaranya dinyatakan gugur dengan alasan tidak memenuhi syarat prakualifikasi.

"Rupanya perusahaan yang dimenangkan itu milik seseorang yang sering bersama mereka," ujarnya.

Konsekuensi secara hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, sambungnya,

dimana dalam salah satu klausul disebutkan apabila ada pihak yang merasa dirugikan terhadap penetapan pemenang tender, lalu melakukan sanggahan atau banding, maka pihak penyedia tidak diperbolehkan membuat kontrak.

"Jika dipaksakan kami akan laporkan ke KPK atau kami layangkan gugatan ke PTUN baik secara perdata dan TUN," pungkasnya.

Berikutnya, penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang dilakukan oleh Pokja, yaitu menambah, mengurangi dan mengubah kriteria persyaratan. Padahal, pada BAB III IKP Huruf E Angka 28.7.a (Hal. 23) Dokumen Pemilihan/Tender Nomor : 02.1/ADD.JK/POKJA PEMILIHAN “ LXXV/2019 Tanggal 4 Desember 2019 “Pokja Pemilihan dilarang menambah, mengurangi, mengganti, dan/atau mengubah kriteria dan persyaratan yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pemilihan/Tender ini”.

Kemudian, Pokja juga menetapkan penetapan pemenang tunggal tanpa melakukan klarifikasi, negosiasi teknis dan biaya terlebih dahulu, memenuhi unsur penyimpangan dari Dokumen Tender Nomor : 02.1/ADD.JK/POKJA PEMILIHAN “ LXXV/2019 Tanggal 4 Desember 2019 BAB III IKP Huruf E Angka 32 “Dalam hal hanya 1 (satu) peserta yang memenuhi persyaratan administrasi, teknis, dan kualifikasi, dilakukan klarifikasi dan negosiasi teknis dan harga”.

Menjawab hal tersebut ULP Pemerintah Aceh memberikan jawaban melalui surat jawaban sanggah tanggal 27 Desember 2019.

Dalam surat tersebut, PT MAM Energindo dinyatakan Tidak Lulus Teknis karena tidak lulus nilai ambang batas unsur untuk persyaratan Peralatan Utama Minimal dengan nilai 4 (empat), dari yang dipersyaratkan minimal 18 (delapan belas) sesuai dengan persyaratan Dokumen Tender Bab. IV LDP huruf N. Bobot dan Ambang Batas point 4.

Penawaran dinyatakan lulus teknis apabila masing-masing unsur dan nilai total keseluruhan unsur memenuhi ambang batas unsur dan total keseluruhan unsur. Akan tetapi, peralatan yang disampaikan PT MAM Energindo dalam dokumen penawaran dengan status sewa dianggap tidak memenuhi ambang batas unsur.

Mendapat jawaban itu, PT MAM Energindo mengambil keputusan melakukan sanggah banding. Perusahaan itu menolak jawaban yang diberikan ULP.

Kuasa Hukum PT MAM Energindo, Mukhlis Muktar mengatakan, penolakan tersebut karena jawaban yang disampaikan Pokja dinilai tidak menjawab subtansi keberatan sesuai sanggahan sebelumnya atas kontruksi proses tender yang telah berlangsung.

"Jawaban Pokja tidak sesuai dengan sanggahan kami. Karena itu kami mengajukan sanggahan banding," kata Mukhlis Muktar kepada wartawan, Selasa (7/1), seperti dikutip dari laman AJNN.

Dalam sanggahan banding ini, kata Mukhlis, pihaknya juga mengajukan beberapa bukti pelanggaran dalam proses tender tersebut, serta memberikan uang jaminan sebanyak Rp 2,3 miliar, atau sebesar 1 persen dari total nilai kontrak pekerjaan itu yakni Rp 237 miliar.

"Syarat sanggah banding harus ada jaminan, dan bukti pelanggaran yang kita tuding," ujarnya.

"Jika sanggahan kami tidak benar, maka jaminan akan hangus, kita berani menjamin karena yakin ada pelanggaran," tambah dia.

Pelanggaran lainnya, pihak RSUZA ternyata telah mencairkan Uang Muka Kerja (UMK) sebesar Rp 13,5 milyar kepada PT. Adhi Persada Agung - PT Amdesmont Sakti, padahal tahapan tender belum selesai, khususnya masih dalam tahapan sanggahan banding.

Hal tersebut terungkap dalam dokumen sanggah banding yang ditujukan ke pihak RSUZA.

"Semua dilakukan dalam satu hari, ini tidak wajar," ucap kuasa hukum PT MAM Energindo, Mukhlis Muktar kepada media ini, Rabu, (8/1/2020).

Kesalahan Hanya Soal Waktu

Sebelum menjawab sanggah banding itu, pada tanggal 19 Januari 2020, pihak RSUZA bersama inspektorat, biro pemerintahan Aceh, Unit Layanan Pengadaan (ULP) dan Kelompok Kerja (Pokja) bergerak ke Jakarta meminta pendapat Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sebagai lembaga negara penentu berlanjut atau dihentikannya tendernya.

Jika tidak bergerak cepat, lanjutnya, maka proyek ini terancam harus dibongkar karena besinya sudah berkarat dan sebelumnya sudah dua kali gagal dalam beberapa tahun lalu.

"Setelah dilihat dan ditelaah, mereka (LKPP) menjawab, kita hanya keliru memutuskan terlalu cepat (prematur) karena proses masa sanggah banding belum selesai," jelas Direktur RSUZA.

"Harusnya masih ada waktu satu sampai tujuh hari, tapi kita putuskan di hari pertama karena memang besoknya tahun 2020. Kalau kita tunggu sampai hari ketujuh, kita tidak bisa membayar uang muka menggunakan anggaran 2019 karena masa anggarannya sudah tutup," jelas Direktur RSUZA itu.

Azharuddin melanjutkan, hasil dari LKPP diputuskan bahwa kontrak awal dibatalkan, uang muka dikembalikan dan pihaknya hanya membuat kontrak baru dengan perusahaan yang sudah terpilih sebelumnya, tanpa harus melakukan tender ulang.

"Sebab hasil evaluasi LKPP, tidak ada hal lain keliru seperti misal berusaha memenangkan satu pihak dan menzhalimi pihak lain sebagaimana yang menjadi sanggahan PT MAM Energindo," kata Azharuddin.

Ia juga menjelaskan, saat tender berlangsung, PT MAM Energindo hanya mendapat nilai 4 dan jauh sekali dengan nilai batas lulus yakni 18 poin.

"Kalau dilihat dari segi pengalaman dan modal, memang PT Adhi Persada Gedung ini memang lebih kuat. Kemudian mereka juga BUMN," ungkapnya.

"Dan ke depan diputuskan, pihak LKPP sebanyak tiga orang akan mengawasi dan mendampingi pelaksanaan proyek ini hingga selesai," ungkapnya.

Pengumuman akhir lelang tender pada 28 Februari mendatang. Direktur RSUZA itu berharap agar masyarakat sama-sama mendukung pembangunan ini setelah sebelumnya harus tertunda selama tiga tahun.

"Kalau ada yang keliru, silakan tunjuk bahwa itu keliru. Kita di sini berusaha untuk transparan kepada semua pihak terkait pembangunan ini," ungkapnya.

"Dan untuk uang jaminan sanggah PT MAM Energindo sebesar Rp 2,3 miliar, kini sudah dicairkan ke kas negara dan menjadi milik pemerintah Aceh. Tidak bisa ditarik lagi oleh pihak yang bersangkutan," pungkasnya.

Menindaklanjuti rekomendasi LKPP, Dr.dr. Azharuddin, SP.OT, K-Spine,FICS selaku kuasa pengguna anggaran dan Ir. Sukaryo selaku kuasa KSO APG- AS, yang beralamat 18 office park lantao 7 jalan TB simatupang Jakarta selatan, telah mengahiri kontrak perjanjian pelaksanakan pembangunan gedung oncology senter (MYC).

Dari data yang berhasil Dialeksis.com dapatkan, Senin (24/02/2020), kedua belah pihak telah sepakat untuk mengahiri perjanjian dan mengesampingkan ketentuan pasal 1266 dan pasal 1267 dari Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Ada 6 point utama dalam perjanjian pembatalan kontrak itu.

Dalam perjanjian yang ditanda tangani kedua belah pihak yang turut dibubuhkan matrai dan stempel basah, pihak kedua ( KSO APG- AS) akan mengembalikan uang muka yang sudah diterimanya senilai Rp Rp 11. 837.045.455.

Dengan dikembalikan uang muka, pihak kedua (KSO APBG “AS) berhak mengambil jaminan pelaksanaan sebesar 5 persen serta jaminan uang muka kerja. Perjanjian tersebut berlaku sejak ditanda tangani kesepakatan, pada 17 Januari 2020.

Pihak pertama (kuasa pengguna anggaran) dan pihak kedua kuasa KSO APG- AS, sebelumnya sudah menanda tangani perjanjian kontrak pembangunan gedung oncology senter ( MYC) yang dituangkan dalan surat perjanjian nomor : 027/12/07/9/02.A./2019 , tertanggal 30 Desember 2019.

Kedua belah sepakat, tidak mengajukan tuntutan hukum apapun terhadap pihak lainya, atas segala hak dan kewajiban dan atas segala peristiwa lainya yang menyangkut perjanjian yang terjadi sebelum berahirnya perjanjian.

Kedua belah yang sebelumnya menanda tangani perjanjian kontrak kerja pembangunan gedung oncology, dengan adanya perjanjian pembatalan kontrak kerja ini, sepakat tidak memerlukan putusan pengadilan dan mengesampingkan ketentuan pasal 1266 dan pasal 1267 dari Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

Sebelum menutup keterangannya, Dr. Azharuddin menyampaikan keyakinannya bahwa pembangunan gedung Oncology dapat dilanjutkan kembali tahun 2020 ini. Pasalnya, dia mengaku telah membangun kerjasama dengan LKPP untuk dapat memberikan atensi dan mendampingi kelanjutan pembangunan gedung yang sangat dibutuhkan masyarakat itu.

"LKPP mengatakan 'kelanjutannya ini tidak perlu lama-lama, anda berkontrak ulang', tidak disebut ber tender ulang. Kemudian LKPP menyarankan 'kami akan mendampingi karena itu proyek yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak'. Jadi kami sudah buat kontrak kerja dengan LKPP agar didampingi, supaya dikritisi, supaya dilihat dari hari ke hari sampai proyek ini selesai," tegas dia.



Asa Laini dan Tahta

Tidak dipungkiri, pembangunan gedung Oncology merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera direalisasikan pemerintah. Lewat gedung Oncology, terselip harapan masyarakat, khususnya penderita kanker yang ada di Aceh.

Asa tersebut terungkap lewat cerita Lainiwati, penderita kanker tulang asal Kabupaten Aceh Singkil.

"Alhamdulillah, saat ini kondisi saya semakin membaik," ungkap Laini, Rabu, (26/2/2020).

Gadis berusia 20 tahun ini menyebutkan menderita penyakit tersebut sejak tahun 2014 lalu. Saat menjalani masa pengobatan radioterapi, kata Laini, harus dilakukan di Medan.

"Sebab di Rumah sakit Zainal Abidin belum ada fasilitas itu bang. 2 bulan saya disana," terang dia.

Selama di Medan, lanjutnya, biaya konsumsi dan kebutuhan sehari-lainnya menggunakan biaya sendiri.

"Juga ada sebagian bantuan dari kak Ratna (Founder C-Four, sebuah komunitas yang concern pada pendampingan kanker anak). Kalau dari pemerintah hanya BPJS saja, sedangkan makan, transportasi itu tanggung sendiri. Tempat tinggal bersama rumah singgah yang ada disana," ujarnya.

Ketika disinggung tentang pembangunan gedung Oncology, Laini mengaku mengetahuinya. Dia berharap rencana tersebut segera terealisasi.

"Ya senang lah bang. Dengan adanya gedung Onlogy, kita kan gak payah lagi ke Medan. Kan bisa lebih irit," harap Laini.

Senada dengan Laini, harapan yang sama disampaikan oleh Syarifah Suniati, orangtua Tahta (11 th) penderita kanker asal Sigli. Tahta sendiri telah mengidap kanker getah bening sejak usianya 8 tahun.

"Anak saya menderita kanker getah bening. Selama ini kontrol terus ke RSUZA untuk mengetahui perkembangan penyakitnya," kata Syarifah kepada Dialeksis.com, Rabu, (26/2/2020).

Dalam kesempatan itu, Syarifah mengeluhkan tentang biaya operasional yang dikeluarkan selama mendampingi sang buah hati menjalani kontrol.

"Sebenarnya anjuran dokter 1 bulan sekali harus dikontrol, tapi karena keterbatasan biaya terpaksa 2 bulan sekali. Beratnya itu ongkos transportasi dan biaya hidup selama disana pak, karena belum tentu jadwal kontrol itu tersedia seperti yang dijadwalkan. Kadang-kadang meleset juga. Selain itu, hanya saya sendiri yang mencari uang pak," ucapnya lirih.

Untuk itu dia berharap RSUZA memiliki fasilitas lengkap agar dapat melayani penderita kanker seperti anaknya.

"Saya senang sekali seandainya disana (RSUZA) tersedia fasilitas lengkap untuk pasien kanker. Jadi, gak perlu rujuk lagi ke rumah sakit luar yang sudah pasti akan banyak mengeluarkan biaya," harap dia.

Harapan Laini dan Syarifah, orangtua Tahta, serta penderita kanker lainnya di Aceh bukanlah 'mimpi' yang sulit untuk diwujudkan oleh pemerintah. Keinginan mereka hanya sederhana, lewat ketersediaan fasilitas kesehatan yang lengkap dan didukung oleh sumber daya yang mumpuni, negara hadir meringankan beban dan derita mereka, sehingga dapat memberikan optimisme untuk berjuang terhadap penyakit yang tidak pernah dikehendaki oleh siapapun itu. Ya, sesederhana itu. (Im)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda