Jum`at, 14 November 2025
Beranda / Kolom / KKR Aceh, Sudahlah…!!

KKR Aceh, Sudahlah…!!

Jum`at, 14 November 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nurdin Hasan

KKR Aceh. [Foto: net]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Di tengah semerbak Robusta Ulee Kareng, ada kisah beraroma campur aduk antara kebanggaan dan keputusasaan. Cerita ini berdengung setelah kajian ba’da shalat Subuh pada suatu Ahad yang dingin menusuk karena semalaman disiram hujan deras. Inilah narasi tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.

Didirikan dengan mandat suci dari Qanun tahun 2013, KKR Aceh seolah telah menjadi "Badan Pengumpul Kesaksian Tergigih di Indonesia". Bandingkan dengan KKR belahan dunia lain yang sibuk memperjuangkan amnesti dan reparasi untuk korban, eee KKR Aceh sibuk dengan hal yang tak kalah mulia: mengumpulkan kepingan hati dan data.

Hingga kini, KKR Aceh dengan bangga telah mengantongi lebih 6.400 pernyataan dari korban dan saksi konflik bersenjata, dari era DOM hingga MoU Helsinki. Ini adalah bank data trauma luar biasa. Harus kita acungi jempol ke langit atas pencapaian administratif yang monumental! Namun, benarkah jumlah korban konflik hampir 30 tahun cuma 6.400-an orang atau malah lebih banyak dari itu? Sebenarnya apa indikator kinerja KKR Aceh?

Oh ya, KKR Aceh beberapa kali sukses menggelar rapat dengar kesaksian publik yang dramatis. Betapa tidak, para korban akhirnya bisa "berteriak", sambil menahan pilu mendalam, di hadapan khalayak. Mereka bisa melepaskan beban berat yang dipikul puluhan tahun, walau hanya sesaat. ​Ini buktinya KKR Aceh bekerja keras, bukan? Tentu saja!

Eits… tunggu dulu. ​Masalahnya, kinerja KKR itu tidak diukur dari seberapa banyak kertas yang terkumpul, melainkan sejauh mana luka para korban tersembuhkan. Di sinilah, KKR Aceh mulai terasa kocak, sekaligus menyesakkan kalau dibandingkan dengan para pendahulunya di beberapa negara lain.

Ayo kita lihat KKR Afrika Selatan (TRC) yang bertugas tujuh tahun (1995-2003). Menghadapi konflik jauh lebih terstruktur dan berdarah dibandingkan Aceh, KKR Afrika Selatan berhasil memetakan kebenaran dan melaksanakan dengar pendapat publik yang menyentuh. KKR Afrika Selatan juga memproses ratusan permohonan amnesti. Mereka menuntaskan tugas utama dengan martabat dan kejelasan.

KKR Afrika Selatan tak hanya mendata korban, tapi juga memperjuangkan reparasi nyata. Lebih 16.000 korban apartheid menerima kompensasi. Reparasi bukan hanya berupa uang tunai, namun juga bantuan pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pelatihan keterampilan. Memang belum seluruh korban mendapatkan haknya.

Yang terbaru adalah KKR Timor Leste (CAVR). Mereka hanya bekerja empat tahun (2001-2005). Dalam kurun waktu sesingkat itu, mereka berhasil menyusun laporan ribuan halaman, "Chega!". Isinya lugas mendokumentasikan kekejaman luar biasa. Mereka bahkan punya waktu untuk membuat rekomendasi mendalam tentang reformasi institusi. Para komisioner KKR Timor Leste seolah berkata: "Kami tahu batas waktu. Kami harus selesai. 4 tahun sudah cukup."

Di Timor Leste, situasinya memang lebih sulit karena keterbatasan anggaran. Tapi, mereka tetap berusaha memberikan reparasi yang manusiawi. Lebih dari 700 korban menerima kompensasi finansial. Ada juga bantuan psikologis dan program pemberdayaan ekonomi. Pemerintah Timor Leste sadar betul, reparasi merupakan investasi jangka panjang untuk membangun perdamaian berkelanjutan.

Lalu bagaimana dengan KKR Aceh? Hampir 10 tahun berlalu, dan pekerjaan esensialnya seolah tak kunjung tuntas. Apakah konflik di Aceh lebih kompleks dari apartheid di Afrika Selatan atau pendudukan Timor Leste? Tentu tidak. Masalahnya bukan pada kompleksitas konflik, tapi pada keruwetan birokrasi dan kemauan politik.

Usai melalui proses melelahkan dan menyakitkan, setelah KKR merekomendasikan reparasi mendesak untuk ribuan korban, Pemerintah Aceh memberikan tindak lanjut yang menyegarkan. Beberapa ratus korban (235 jiwa) menerima duit bantuan sosial (bansos) Rp10.000.000 per orang, tahun 2022. Ribuan korban lain, hingga kini, sepertinya terabaikan.

Ini bukan reparasi sejati. Reparasi adalah pemulihan harkat, martabat, dan hak-hak yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Tapi, pemerintah yang diamini komisioner KKR seolah menganggapnya ”santunan masa panik”. Tujuan bansos adalah untuk meringankan beban ekonomi dan sosial masyarakat miskin, rentan, atau mereka yang terdampak bencana atau krisis. Masih ingat waktu Pemilu 2024, bagaimana pemerintah menggelontorkan Bansos?

Apabila korban konflik Aceh menukar trauma seumur hidup, kehilangan anggota keluarga, atau cacat permanen dengan Bansos Rp10 juta, mereka tidak sedang diberikan keadilan. Tapi, mereka sedang dibayar untuk diam. Dan itu dilakukan oleh birokrasi yang memiliki political will setebal kulit bawang, padahal perdamaian Aceh sudah lebih dari 20 tahun.

Apakah durasi kerja KKR Aceh nyaris satu dekade tidak cukup? Itu lebih lama dari KKR Timor Leste yang menghadapi konflik lebih terpusat. Sejauh ini, hasilnya terhenti di 'gerbang Bansos', sambil menunggu pemerintah bertindak. Kini, muncul satu kesimpulan tajam. Waktu KKR Aceh sudah habis!

Waktu 10 tahun sudah cukup untuk mengumpulkan semua yang perlu. Masalahnya bukan lagi pada komisioner, tapi dinding teflon pemerintah yang terkesan anti-implementasi. Perpanjangan masa kerja KKR Aceh hanya akan menambah pemborosan anggaran, dan semakin menyakitkan korban. Seharusnya, dengan sisa waktu beberapa bulan lagi, para komisioner KKR Aceh tidak berhenti ”menggonggong” supaya reparasi untuk korban segera dipenuhi.

Biarkan KKR Aceh bubar, dengan damai. Tinggalkan ribuan data emasnya di meja Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat. Biarkan mata publik, media, serta dunia internasional tertuju pada laporan temuan itu. Jika para korban tidak mendapatkan hak-haknya, utang moral tak lagi ditanggung oleh komisioner KKR.

Biarkan tanggung jawab moral itu ditanggung oleh setiap pejabat di Aceh yang pura-pura sibuk mencari investor, meninjau proyek pembangunan, namun mengabaikan ribuan wajah yang menanti keadilan -- atau setidaknya, reparasi yang bukan sekadar bansos. Tanggung jawab itu juga harus dipikul oleh Pemerintah Pusat.

Selamat kepada komisioner KKR Aceh! Anda telah menuntaskan tugas mengumpulkan data dan membuat rekomendasi. Tetapi, data hanya menjadi arsip emas jika tidak ditindaklanjuti. 

KKR Aceh, sudahlah...!! Segera minta DPRA untuk membubarkan KKR. Sekarang, mari kita melihat apakah birokrasi di negeri ini akan menyelesaikan tanggung jawab moralnya kepada ribuan korban konflik Aceh. Akhinya, jangan lupa, menyeruput tetesan terakhir kopi pahit meski sudah dingin.[**]

Penulis: Nurdin Hasan (Freelance Journalist)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI