DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Keberadaan kantor perwakilan Bank Indonesia (BI) di daerah semestinya memberi energi bagi ekonomi lokal. Dengan mandat menjaga stabilitas rupiah, mengendalikan inflasi, serta memastikan sistem pembayaran berjalan sehat, BI diharapkan dekat dengan denyut nadi masyarakat.
Namun, keputusan BI Lhokseumawe menggelar sejumlah pelatihan dan seminar di Medan justru menuai kritik keras dari aktivis demokrasi Aceh, Sofyan.
“Ini bukan sekadar soal lokasi acara. Ini soal mentalitas dan keberpihakan. Kalau acara BI Lhokseumawe dilaksanakan di Medan, otomatis uang daerah mengalir keluar. Padahal setiap rupiah yang berputar di kota ini sangat berarti untuk menghidupkan hotel, katering, transportasi, hingga pekerja harian lokal,” ujar Sofyan kepada wartawan dialeksis.com, Jumat (19/9/2025).
Menurutnya, keputusan menggelar kegiatan di Medan justru memperlebar jurang ketidakadilan ekonomi. “Masyarakat Lhokseumawe sedang menghadapi inflasi, harga kebutuhan pokok naik turun, UMKM sulit permodalan, pengangguran masih tinggi. Tapi BI malah sibuk dengan acara mewah di luar kota. Bukankah tugas BI justru menjadi penyeimbang, bukan malah membuka ruang kebocoran ekonomi?” tambahnya.
Sofyan menekankan bahwa inflasi bukanlah sekadar angka statistik yang muncul dalam laporan resmi. Inflasi, katanya, nyata dirasakan masyarakat sehari-hari.
“Harga cabai naik, ongkos transportasi makin mahal, daya beli melemah. Ini realitas dapur rakyat. BI tidak boleh abai terhadap konteks lokal ini. Mereka hadir di sini bukan untuk nama saja, tapi untuk bekerja demi kepentingan ekonomi masyarakat,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan klaim bahwa Lhokseumawe tidak memiliki fasilitas memadai. “Apa benar hotel dan ruang pertemuan di kota ini tidak layak? Atau sebenarnya ada motif lain? Kalau jawabannya hanya soal kenyamanan di kota besar, itu sama saja lari dari tanggung jawab,” kata Sofyan.
Tak hanya itu, Sofyan juga menyoroti potensi persoalan lain di balik keputusan BI Lhokseumawe. Menurutnya, publik bisa saja menilai bahwa pemindahan kegiatan ke luar kota hanyalah upaya menutup perhatian dari isu yang lebih besar.
“Kita tidak bisa menutup mata terhadap isu transparansi dana CSR perusahaan-perusahaan besar di Lhokseumawe yang hingga kini masih gelap. Jangan sampai kegiatan ke Medan ini hanya cara untuk mengalihkan sorotan publik. Masyarakat berhak tahu, apakah BI berpihak pada ekonomi rakyat atau justru sibuk dengan seremonial dan kepentingan elite,” ujarnya.
Bagi Sofyan, sudah saatnya BI Lhokseumawe bercermin. Menurutnya, pelatihan dan seminar yang mereka jalankan bukanlah ajang wisata elite, melainkan amanah yang harus kembali dalam bentuk kontribusi nyata.
“Kalau memang serius, lakukan kegiatan di sini, libatkan pelaku usaha lokal, dorong ekonomi berputar di Lhokseumawe. Jangan sampai BI hanya jadi papan nama, tanpa denyut kehidupan yang berarti bagi masyarakat kota ini,” pungkasnya. [nh]