DIALEKSIS.COM | Kolom - Lima belas hari adalah waktu yang sangat lama dalam kalender kehidupan modern. Bagi sebuah rumah sakit, itu bisa berarti hidup dan mati. Bagi industri, itu adalah kebangkrutan. Namun bagi warga Aceh yang saat ini terkepung banjir dan longsor, tiga belas hari tanpa listrik bukan sekadar ketidaknyamanan; ini adalah pencabutan paksa atas hak asasi dasar manusia.
Saat air bah merendam rumah, kegelapan yang menyelimuti Aceh selama hampir dua pekan ini menyingkap sebuah fakta yang jauh lebih meresahkan daripada bencana alam itu sendiri: ketidaksiapan sistemis PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam menghadapi situasi darurat. Narasi klasik bahwa "alam yang bersalah" tidak lagi bisa diterima ketika durasi pemulihan melampaui batas kewajaran logistik dan teknis.
Sebagai akademisi dan analis kebijakan publik, saya melihat apa yang terjadi di Aceh bukanlah sekadar force majeure. Ini adalah manifestasi dari kegagalan manajemen risiko korporasi, ketiadaan mitigasi bencana yang terencana, dan runtuhnya profesionalisme komunikasi publik.
Paradoks Surplus Energi dan Rapuhnya Jaringan
Ada ironi yang menyakitkan di Aceh. Secara statistik dan klaim manajemen di masa normal, Aceh disebut memiliki surplus daya. Pembangkit-pembangkit listrik di Aceh--baik PLTMG maupun PLTU--diklaim mampu menghasilkan daya yang melebihi beban puncak (peak load) konsumsi masyarakat. Namun, dalam ilmu kelistrikan modern, "Kapasitas Pembangkit" (Generation Capacity) dan "Ketahanan Distribusi" (Grid Resilience) adalah dua hal yang berbeda.
Memiliki surplus listrik tetapi gagal menyalakannya saat bencana ibarat memiliki waduk penuh air tetapi semua pipanya pecah. Kegagalan PLN di Aceh membuktikan bahwa sistem kelistrikan di sana tidak dibangun dengan perspektif kebencanaan (disaster-proof design).
Dalam prinsip reliability engineering, sebuah wilayah rawan bencana seperti Aceh seharusnya memiliki sistem Redundancy (cadangan) yang berlapis. Ketika jalur transmisi utama putus akibat longsor, seharusnya ada jalur loop alternatif atau sistem island mode (operasi terpisah) yang memungkinkan pembangkit lokal tetap menyuplai area sekitarnya secara mandiri tanpa bergantung pada jaringan interkoneksi utama yang lumpuh. Fakta bahwa pemadaman terjadi total dan berlarut-larut mengindikasikan bahwa topologi jaringan PLN di Aceh sangat kaku (rigid), tersentralisasi, dan rapuh. Surplus daya menjadi tidak berguna ketika infrastruktur penyalurnya tidak memiliki imunitas terhadap gangguan fisik.
Runtuhnya Water-Energy Nexus dan Krisis Kemanusiaan
Dampak paling fatal dari padamnya listrik di Aceh bukanlah matinya televisi atau pendingin ruangan, melainkan putusnya akses terhadap air bersih. Dalam studi keberlanjutan, ini dikenal sebagai Water-Energy Nexus--ketergantungan mutlak suplai air pada energi listrik.
Ketika listrik mati selama 13 hari, pompa air mati. Instalasi Pengolahan Air (IPA) berhenti beroperasi. Akibatnya, warga yang sudah menderita karena banjir kini menghadapi ancaman penyakit kulit, dehidrasi, dan sanitasi yang buruk. PLN gagal melihat bahwa di era modern, listrik adalah enabler (pemungkin) bagi hak hidup lainnya.
Dalam konteks sosiologis Aceh sebagai daerah Syariat, kegagalan ini menyentuh aspek yang sangat sensitif: ibadah. Air bukan hanya kebutuhan biologis, tetapi kebutuhan spiritual untuk bersuci (wudu). Membiarkan masyarakat kesulitan mendapatkan air untuk salat selama hampir dua pekan menunjukkan ketidakpekaan korporasi terhadap kearifan lokal dan kebutuhan mendasar pelanggannya. PLN bukan hanya memadamkan lampu, mereka secara tidak langsung menghambat hak warga untuk beribadah dengan layak di tengah cobaan bencana. Ini adalah kegagalan pelayanan publik yang paripurna.
Nihilnya Peta Mitigasi Bencana
Sebagai konsultan kebijakan publik yang sering terlibat dalam penyusunan Business Continuity Plan (BCP), saya mempertanyakan keberadaan dokumen mitigasi bencana PLN Unit Induk Wilayah Aceh.
Bencana banjir dan longsor di Aceh adalah agenda tahunan yang dapat diprediksi, bukan anomali yang mengejutkan seperti gempa bumi atau tsunami. Seharusnya, PLN sudah memiliki protokol hardening infrastructure. Gardu-gardu induk di area rawan banjir seharusnya sudah ditinggikan (elevated substations). Tiang-tiang di area rawan longsor seharusnya sudah diperkuat dengan fondasi beton bertulang atau diganti dengan kabel bawah tanah di titik-titik kritis.
Durasi 13 hari tanpa kejelasan menunjukkan bahwa PLN bekerja secara reaktif, bukan preventif. Mereka menunggu bencana terjadi baru kemudian memobilisasi tim perbaikan dengan peralatan seadanya, bergelut dengan medan yang sulit. Padahal, manajemen kebencanaan modern menuntut pendekatan proaktif: persiapan material cadangan di titik-titik strategis sebelum musim hujan, dan skenario pengalihan beban otomatis saat satu jalur terputus. Ketiadaan strategi ini memperlihatkan wajah BUMN kita yang gagap, lamban, dan tidak memiliki visi resilience.
Komunikasi Krisis yang Amatir
Di luar masalah teknis, aspek yang paling mengecewakan dari krisis ini adalah manajemen komunikasi. Dalam situasi krisis, informasi setara nilainya dengan logistik. Warga perlu tahu kapan listrik menyala agar mereka bisa mengatur cadangan air, lilin, atau bahan bakar genset yang kian langka.
Namun, yang terjadi adalah keheningan atau jawaban normatif klise: "sedang dalam perbaikan" atau "mohon bersabar." Tidak ada timeline yang jelas, tidak ada transparansi mengenai kendala spesifik di lapangan, dan tidak ada empati yang tulus. Ini menunjukkan PLN Aceh tidak memiliki tim komunikasi krisis yang kompeten.
Di negara maju, utilitas publik wajib memberikan pembaruan real-time berbasis peta digital kepada pelanggan saat terjadi outage. Pelanggan tahu tiang nomor berapa yang roboh, berapa tim yang dikerahkan, dan estimasi jam perbaikan. Ketidemampuan PLN memberikan kepastian informasi selama hampir dua minggu adalah bentuk ketidakprofesionalan yang nyata. Ini menciptakan keresahan sosial dan rasa putus asa di tengah masyarakat yang sedang trauma.
Rekomendasi: Reformasi Total Kelistrikan Aceh
Kejadian ini harus menjadi wake-up call yang keras. Pemerintah Pusat dan Direksi PLN tidak boleh sekadar meminta maaf. Perlu ada langkah konkret dan radikal untuk memastikan "kegelapan 13 hari" ini tidak terulang di masa depan.
Pertama, Audit Forensik Infrastruktur. Harus dilakukan audit independen--bukan internal--terhadap ketahanan infrastruktur PLN di Aceh terhadap bencana hidrometeorologi. Audit ini harus memetakan titik-titik lemah yang menjadi penyebab kelumpuhan sistem saat ini.
Kedua, Desentralisasi Energi dan Microgrid. Aceh tidak bisa lagi bergantung sepenuhnya pada jaringan transmisi panjang yang rentan putus tertimpa longsor. PLN harus mulai berinvestasi pada sistem Microgrid berbasis energi terbarukan (seperti PLTS komunal dengan baterai) di daerah-daerah rawan bencana. Sistem ini memungkinkan desa atau kecamatan memiliki listrik secara mandiri saat jaringan utama putus. Ini adalah standar baru ketahanan energi global.
Ketiga, Profesionalisasi Manajemen Krisis. PLN Aceh harus merombak protokol komunikasi krisisnya. Tim humas harus dilatih untuk memberikan data faktual dan estimasi terukur, bukan sekadar kata-kata penghibur. Transparansi adalah kunci kepercayaan publik.
Keempat, Kompensasi yang Adil. Sesuai Tingkat Mutu Pelayanan (TMP), PLN wajib memberikan kompensasi kepada warga Aceh. Namun dalam kasus ekstrem 13 hari ini, kompensasi potongan tagihan saja tidak cukup. Harus ada tanggung jawab moral dan material atas kerugian sekunder yang diderita warga akibat matinya aktivitas ekonomi dan rusaknya peralatan elektronik.
Penutup
Bencana alam memang takdir Allah SWT., tetapi kesiapan menghadapinya adalah tanggung jawab manusia--dalam hal ini, tanggung jawab PLN. Membiarkan rakyat Aceh dalam gelap gulita, tanpa air, dan tanpa kepastian selama 13 hari adalah bukti telanjang bahwa PLN telah gagal menjalankan mandat konstitusi untuk mencerdaskan dan menyejahterakan kehidupan bangsa melalui energi.
Sebagai bangsa yang besar, kita tidak boleh memaklumi ketidakbecusan ini sebagai "nasib". Listrik adalah hak dasar. Ketika PLN gagal menyediakannya dalam durasi yang sangat tidak manusiawi, mereka bukan hanya gagal secara teknis, tetapi telah melukai rasa keadilan rakyat Aceh. Saatnya PLN berhenti beretorika tentang surplus daya dan mulai bekerja membenahi fondasi profesionalisme mereka yang keropos. Aceh butuh terang, bukan sekadar janji yang padam.
Penulis: Analis Kebijakan Publik, Akademisi Universitas Syiah Kuala, Nasrul Zaman