DIALEKSIS.COM | Opini - Artikel yang dituliskan ini diperuntukkan untuk membuka cakrawala baru dan wawasan bagi ilmu negara dan wabil khusus aspek hukum tata negara sehingga landasan teoritis dan konseptual gagasan negara baru diperbincangkan dan didiskusikan bagi khalayak ramai sebagai bagian dari diskursus keilmuan kontemporer.
Bermula dari Samuel Philips Huntington (Huntington) seorang ilmuwan politik Amerika Serikat dalam catatan-catatan risetnya menjelaskan bahwa negara tetap menjadi aktor terkuat dalam hubungan global, benturan peradaban, benturan hubungan kultural (antar wilayah, perjanjian antara negara induk dan kewilayahan kekhusuan), benturan peradaban tetap akan mendominasi politik global dan dinamika politik lokal (Jakarta dan Aceh).
Murid Huntington di Indonesia menguraikan hal itu, sebut saja Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Ilmu Politik menjelaskan bagaimana landasan teoritis dan konseptual terkait benturan internal negara di India berdampak pada gagasan negara baru yakni pecahnya negara India menjadi beberapa bagian-bagian.
Pemecahan negara India diakibatkan karena Pemerintah Pusat India kala itu terlalu sentris, mengabaikan kepentingan lokal sehingga India pecah kala itu, maka pada tanggal 2 Juli 1947 perselisihan kebangsaan melahirkan negara baru yang diselesaikan oleh Pemerintah Inggris. Kawasan anak benua India saat itu menjadi dua bagian Pakistan (14 Agustus 1947) dan India (15 Agustus 1947) pembagian dua wilayah ini diatur dan dicatat dalam referendum lous mountbatten 1947 yang dikenal dan mahsyur sebagai kemerdekaan dan pemisahan.
Tersisa kala itu yang belum menentukan pilihan adalah wilayah Kashmir, wilayah ini setelah pemisahan India dan Pakistan memiliki kesempatan untuk menentukan pilihannya sendiri untuk bergabung dengan India atau Pakistan yang dilakukan persetujuan rakyatnya. Kashmir dengan segala keindahannya, terombang ambing sampai sekarang dan secara geografis, Kashmir berada di wilayah India, dan penduduknya mayoritas Islam (78%), beragama Hindu (19%), dan sisanya beragama lain. Persoalan Kashmir memuncak dikarenakan pemimpin Kashmir yang beragama Hindu mengintegrasikan wilayahhnya ke India, tetapi mayoritas rakyat Kashmir berkeinginan bergabung ke Pakistan.
Hal yang paling memantik persoalan adalah, ketika India memasukkan Kashmir menjadi wilayah kekhususannya sehingga konflik antara India dan Pakistan semakin panas dan kontra, wilayah Kashmir hingga sekarang menjadi bagian dari India (lihat Pasal 370 Konstitusi India).
Paragraf-paragraf di atas semestinya menjadi catatan-catatan penting bagi hubungan Jakarta dan Aceh, bukankah rumusan dasar negara Pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Aceh yang dijadikan sebagai wilayah yang menerapkan pemerintahan sendiri (self-government) berbasis MoU Helsinki seharusnya menjadi pijakan dasar atas persoalan Aceh.
Kemudian yang perlu diingat lagi adalah, ketika Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 29 September 1925, Volksraad memutuskan untuk mendukung petisi untuk otonomi Indonesia? dan Tan Malaka mencetuskan gagasan negara Republik? Jelas pada saat itu Pemerintah Hindia Belanda yang masih berkuasa membredeli para pejuang Indonesia.
Rumusan gagasan negara baru dalam era kontemporer sejatinya bukanlah barang usang, sepanjang landasan teoritis, konseptual, sosiologis dan kekuatan rakyat menginginkan itu maka terbentuknya negara baru tidak mustahil dalam sejarah panjang bumi ada.
Gagasan negara baru menurut Konsvensi Montevideo 1933 akan beririsan dengan syarat berdirinya suatu negara yang mencakup sebagai berikut: Pertama, gagasan negara baru memiliki rakyat tetap, karena sebuah negara baru harus memilki rakyat tetap (permanent) di wilayahnya. Negara baru itu harus memilki rakyat yang stabil dan tidak bersifat sementara. Kedua, memiliki wilayah atau tanah.
Negara baru harus memiliki kewilayahan yang jelas batas-batasnya dan tidak dipertentangkan dengan negara lain. Wilayah ini harus terdefinisi dengan baik dan diakui oleh masyarakat Internasional (Negara Federasi Rusia). Ketiga, pemerintahan yang berdaulat. Negara baru harus memilki pemerintahan yang efektif dan berdaulat, yang mampu menjalankan fungsinya tanpa campur tangan dari negara lain. Pemerintahan status quo ini, harus mampu mengelola negara secara mandiri. Keempat, pengakuan dari negara lain. Negara baru harus mampu mengadakan hubungan diplomatik dan mampu menjalinkan kerjasama dengan negara-negara luar. Pengakuan ini dapat diberikan secara eksplisit atau implisit oleh negara-negara lain melalui hubungan diplomatik atau perjanjian internasional.
Lalu pertanyaanya adalah, bagaimana dengan gagasan negara baru era kontemporer, apakah itu memungkinkan? Tentu secara teoritis dan konseptual itu sangat memungkinkan sepanjang tidak mengorbankan rakyat dan tidak adanya tidak pertumpahan darah.
Referendum bisa saja menjadi jalan baru bagi Aceh untuk menjadi jalan ketika beberapa kepentingan wilayah kekhususan tidak diakomodir oleh negara induk karena pada dasaranya gagasan negara baru melalui referendum jauh lebih aman, rakyat Aceh menentukan pilihan apakah memang tetap pada negara induk atau memang membentuk gagasan negara baru. Hasil referendum biasanya akan mengikat tatanan pemerintah a quo sehingga mempersiapkan segala hal untuk tatanan negara baru ke depan. Referendum dicetuskan untuk mengambli suatu proses pemungutan suara semesta untuk mengambil sebuah keputusan, terutama keputusan politik yang mempengaruhui suatu negara secara keseluruhan.
Referendum pasti akan bermuara pada persiapan pembentukan gagasan negara baru melalui penyusunan konstitusi secara mandiri, evolusi, revolusi sebagai bagian dari asas-asas dasar dan hukum suatu bangsa dan negara.
Gagasan negara baru ini tetap melalui proses persiapan kemerdekaan bertugas untuk mempersiapkan kemerdekaan dan diketuai oleh tokoh sentral karena diharapkan wadah panitia persiapan kemerdekaan tersebut akan menjelma jadi fungsionaris negara. Gagasan negara baru akan tumbuh dan terbentuk ketika kekuasaan negara induk mulai semena-mena atas konsensus-konsensus kekhususan lokal, sebut saja Bougainville, New Caledonia, Rojava, Bermuda, Libya Barat, Libya Timur dan Chuuck.
Bagaimana dengan Aceh dengan dua dekade pasca pengesahan MoU Helsinki, apakah Aceh itu memungkin membentuk negara baru karena beberapa kesepakatan tidak dijalankan oleh negara Indonesia atau memang tetap dalam naungan NKRI. Persoalan tiga bulan tahun 2025 ini saja memberikan catatan buruk atas perlakukan tekstual MoU Helsinki, misalnya penambahan 4 bataliyon, pengalihan 4 pulau Aceh di wilayah Sumatera Utara, menyatuatapkan jadwal pilkada tahun 2024 yang semestinya tahun 2022, pengalihan perizinan prinsip minerba ke kementerian pusat, dan masih banyak hal lain.
Referendum legsilatif menjadi solusi. Semoga. [**]
Penulis: Muhammad Ridwansyah (Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien}