Beranda / Berita / Aceh / Aceh Bisa Apa dengan 1 Persen DAU Dana Otsus?

Aceh Bisa Apa dengan 1 Persen DAU Dana Otsus?

Minggu, 13 Maret 2022 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Foto: Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Pemakaian Dana Otonomi Khusus (Otsus) oleh Pemerintah Aceh selama hampir 15 tahun ini banyak dianggap kurang memberi sumbangsih untuk kemajuan, khususnya pada bidang kesejahteraan, pemberantasan kemiskinan dan pengangguran.

Apalagi Provinsi Aceh pada tahun 2023-2027 akan dihadapi pada kenyataan menerima 1 persen Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional dari dana otsus.

Hal inilah yang kemudian membuat Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh-Jakarta menyelenggarakan sesi Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas permasalahan ini.

Para panitia FGD menghadirkan Dirjen Adwil Kemendagri Dr Safrizal MSi untuk menjadi keynote speaker membahas perkara otsus di Aceh. Belum lagi tema yang dibentang dalam FGD tersebut sangat menarik untuk diulas, yaitu “Dana Otsus Papua Bisa, Aceh Bagaimana?”

Dalam pemaparannya, Dirjen Adwil Kemendagri Dr Safrizal MSi mengatakan, berdasarkan statistik ekonomi, pada tahun 2021 ekonomi Aceh tumbuh sebesar 2,79 persen.

Besaran angka ini, kata dia, sangat jauh bila dibandingkan sebelum pandemi. Karena pandemi sangat merusak dan mempengaruhi berbagai sektor pendapatan. 

Selain pandemi, Dr Safrizal mengatakan pentingnya para pemangku kekuasaan untuk melihat potensi-potensi yang menekan capaian pertumbuhan ekonomi di Aceh.

Menurutnya, kiat melajukan pertumbuhan ekonomi di Aceh ialah dengan mempertahankan sektor yang unggul untuk menangani sektor minus. Usulan yang seperti ini, kata dia, jarang dibawa ke halaman muka.

“Yang selalu dibawa ke halaman itu, we fail (kita gagal). Padahal banyak sektor yang unggul yang mestinya ikut dibawa ke halaman depan juga. Ini bukan saya bermaksud membela pemerintah, tapi ini nyata dan harus kita pahami bersama. Sehingga kita bisa memperoleh solusi dari penyakit yang kita hadapi ini,” ujar Dr Safrizal secara daring di App Zoom, Sabtu (12/3/2022). 

Ia mengibaratkan, laksana membuka rapor lalu dicari angka merahnya. Angka merah tersebut perlu dianalisis untuk perbaikan ke depan. Namun, di kebanyakan diskusi yang diselenggarakan, nilai merah itu belum terlihat. Sehingga tawaran solusi yang disajikan kadang kurang akurat.

Dirjen Adwil Kemendagri itu menambahkan, bila nilai merahnya ketemu, maka strategi pemberantasan bisa dilakukan secara pentahelix atau total football.

Dimana strategi ini dikenal sebagai sebuah strategi yang semua komponennya bersatu padu untuk fokus pada permasalahan yang sama.

Intinya adalah kolaborasi untuk mengerahkan sumber daya yang tersedia dengan pendekatan kolaboratif dari segala unsur masyarakat.

Sementara itu, bila kemiskinan di Aceh disebabkan oleh formasi kebijakan publik, menurut Dr Safrizal hal itu sangatlah tidak mungkin. Karena menurutnya, Aceh lebih unggul ketimbang provinsi-provinsi lain.

Bila gagalnya ada diimplementasi, kata dia, maka bukan kebijakan yang perlu dirubah. Akan tetapi, implementasi itu yang perlu diperbaiki. 

“Benarkah kita gagal merumuskan kebijakan, merumuskan strategi? Atau implementasinya yang tidak sesuai dengan fomulasi yang telah dibuat? Penyebabnya apa, maka itulah yang harus kita evaluasi,” ucapnya.

Pada kesempatan yang sama, Dirjen Adwil Kemendagri ini juga membeberkan dua strategi paralel untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan di Aceh. Strategi paralel ini dibagi dalam dua planing, yaitu Plan A dan Plan B. Berikut ulasannya:


Plan A

Mengusahakan perpanjangan dana otsus melalui jalur konstitutional Revisi UUPA secara incrimental (revisi terbatas). Plan ini juga ada tantangan yaitu sangat dipengaruhi oleh dinamika perkembangan politik yang berkembang.

Dr Safrizal mengatakan, Plan A ini adalah concern (kekhawatiran) bersama. Ia juga mengimbau agar pemerintah tidak gagabah mempertaruhkan apa yang sudah dimiliki Aceh selama 15 tahun ini. 

Karena, jelas dia, ketika ingin memperpanjang dana otsus atau setidaknya mengembalikan 2 persen DAU Nasional untuk kembali diperpanjang tanpa batas waktu, nanti akan bermunculan pertanyaan, selama 15 tahun saat 2 persen itu, Aceh sudah menghasilkan apa.

Oleh karenanya, Dr Safrizal berharap, agar para legislasi dari Aceh bisa menjelaskan dengan presisi akademik yang tinggi. Jangan sampai ketika pengajuan revisi UUPA dilakukan, rakyat Aceh tak bisa menjelaskan apa yang sudah dicapai dalam 15 tahun terakhir.

Karena bila tidak, pihak yang memperpanjang otsus itu akan mikir dua kali, dan akan beranggapan kalau pun diperpanjang hasilnya tetap akan nihil.

Oleh sebab itu, kata Dr Safrizal, ada narasi yang perlu diperbaiki soal dana otsus. Narasinya itu ialah selama 15 tahun Aceh sudah memiliki kemajuan, tapi tidak cukup waktu untuk Aceh bisa menyalip beberapa provinsi atau minimal menyamai standar nasional.

Oleh karenanya, sambung dia, Aceh membutuhkan nafas baru agar yang sudah berjalan secara on the track bisa tetap diperjuangkan.


PLAN B 

Dengan anggaran 1 persen DAU Nasional dana otsus, Pemerintah Aceh harus terus melakukan pelajuan ekonomi untuk meningkatkan nilai tambah digital dan UMKM dengan strategi baru atau re-design otsus.

Dirjen Adwil Kemendagri itu juga berpesan agar Pemerintah Aceh tak hanya bergantung pada APBD. Karena bercermin pada saat dirinya menjadi Gubernur Kalimantan Selatan, APBD hanya bersifat insentif dan fasilitas, tetapi angka utama yang mampu menaikkan ekonomi secara cepat adanya di sektor swasta.


Plan A + Plan B

Bila rakyat Aceh ingin menggabungkan dua rencana ini atau setidaknya melakukan sambil jalan, Dr Safrizal mengatakan, harapannya terletak pada harmonisasi semua pihak. Dari nasional mempersiapkan segalanya, dari pihak daerah ikut membantu memberi masukan.(Akhyar)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda