Kamis, 30 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Akademisi USK: Agroforestry Harus Jadi Fokus Utama Mualem Jaga Hutan Aceh

Akademisi USK: Agroforestry Harus Jadi Fokus Utama Mualem Jaga Hutan Aceh

Rabu, 29 Oktober 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Akademisi dan peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK), Monalisa Aurora. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akademisi dan peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK), Monalisa Aurora, menilai bahwa penerapan konsep agroforestry atau sistem wanatani merupakan solusi paling efektif dalam menjaga kelestarian hutan Aceh sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan.

Ia menegaskan, di bawah kepemimpinan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem), pemerintah daerah perlu memberikan perhatian khusus terhadap pengembangan sistem agroforestry yang terintegrasi, berkelanjutan, dan berpihak pada masyarakat lokal.

“Saya berharap Mualem fokus pada isu agroforestry di Aceh. Kawasan hutan kita sangat luas, dan kalau dikelola dengan pendekatan yang tepat, ini bisa menjadi sumber ekonomi yang luar biasa bagi masyarakat,” ujar Monalisa Aurora kepada media dialeksis.com di Banda Aceh, Rabu (29/10/2025).

Monalisa menuturkan, Aceh merupakan salah satu provinsi dengan kawasan hutan terluas di Sumatera, termasuk kawasan habitat gajah dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Namun, potensi besar tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat.

“Kita punya kawasan hutan yang sangat besar, termasuk hutan gajah yang merupakan salah satu yang terluas di Sumatera. Tapi sayangnya, hingga kini pengelolaannya belum sepenuhnya berpihak pada masyarakat,” jelasnya.

Menurutnya, banyak kawasan di Aceh yang sebenarnya dapat dikembangkan dengan model wanatani produktif menggabungkan pohon kehutanan, tanaman pertanian, dan komoditas bernilai ekonomi seperti kopi, kakao, atau madu hutan.

Pola ini terbukti di banyak daerah lain mampu menjaga kelestarian hutan sekaligus membuka sumber penghasilan baru bagi masyarakat lokal.

Monalisa juga menyoroti pentingnya adanya program khusus dari Pemerintah Aceh untuk mengatasi persoalan komunikasi dan sosialisasi antara masyarakat dengan pemerintah terkait pengelolaan kawasan hutan.

“Harus ada program yang menyentuh aspek komunikasi masyarakat di sekitar hutan, termasuk anak-anak muda. Mereka perlu diberi pemahaman dan peran dalam menjaga hutan. Ini bisa dilakukan dengan pendekatan sosial dan pendidikan lingkungan sejak dini,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa perlu adanya pendekatan sosial berbasis komunitas (community-based approach) yang memperkuat rasa kepemilikan masyarakat terhadap hutan di sekitarnya.

“Kalau masyarakat merasa memiliki, mereka tidak akan merusak. Tapi kalau mereka justru dijauhkan dari hutan, di situlah muncul konflik. Kita busuk, kata orang Aceh, bukan karena miskin, tapi karena tidak bisa menjaga sumber daya yang ada di depan mata,” ucap Monalisa.

Monalisa juga mengkritisi kebijakan yang cenderung hanya mengganti pengelola kawasan tanpa perubahan mendasar dalam konsep pengelolaannya.

“Kalau hanya ganti pemain, itu bukan solusi. Artinya hanya berpindah kewenangan dari satu pihak ke pihak lain, tapi masyarakat tetap tidak dapat manfaat. Pemerintah seharusnya menawarkan konsep yang jelas, bagaimana benefit sharing-nya bagi masyarakat sekitar,” tegasnya.

Monalisa mengingatkan bahwa pengelolaan hutan yang baik bukan sekadar memindahkan kewenangan, melainkan merestorasi kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai bagian dari solusi.

“Kalau lahan atau kawasan hutan itu diambil alih oleh pemerintah atau perusahaan, pertanyaannya adalah: apa manfaat langsung bagi warga sekitar? Kalau masyarakat tidak dilibatkan, ini hanya akan menambah ketimpangan,” katanya.

Monalisa berharap kepada Gubernur Aceh Muzakir Manaf agar kebijakan kehutanan dan lingkungan ke depan benar-benar dirancang dengan semangat kolaboratif dan berpihak pada masyarakat.

“Pesan saya kepada Mualem, kawasan hutan yang selama ini terlantar harus dikembalikan untuk dikelola bersama rakyat. Gunakan konsep restorasi ekologi yang melibatkan masyarakat. Jangan hanya memindahkan penguasaan, tapi pastikan rakyat jadi bagian dari pembangunan kehutanan Aceh,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI