Senin, 27 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Akademisi USK: Agroforestry Jadi Kunci Kelestarian Hutan dan Ekonomi Hijau di Aceh

Akademisi USK: Agroforestry Jadi Kunci Kelestarian Hutan dan Ekonomi Hijau di Aceh

Senin, 27 Oktober 2025 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Akademisi dan peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Monalisa Aurora. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akademisi dan peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Monalisa Aurora, menilai bahwa penerapan konsep agroforestry atau sistem wanatani menjadi salah satu solusi paling efektif dalam menjaga kelestarian hutan Aceh sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan.

Menurut Monalisa, agroforestry bukan hal baru, namun masih belum berjalan optimal di Aceh maupun secara nasional.

“Sudah banyak sekali bentuk-bentuk penerapan agroforestry yang dijalankan di berbagai program. Salah satunya adalah PES (Payment for Environmental Services) atau program pertahanan ekosistem hutan. Tapi di Aceh sendiri, PES ini belum begitu aktif. Itu menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah,” jelas Monalisa saat ditemui media dialeksis.com di Banda Aceh, Senin (27/10/2025).

Lebih lanjut, Monalisa menjelaskan bahwa konsep agroforestry berupaya mengelola hutan secara berkelanjutan, bukan sekadar menebang dan mengambil hasil kayu.

Dalam sistem ini, masyarakat bisa menanam komoditas bernilai ekonomi tinggi yang sesuai dengan karakteristik ekosistem hutan.

“Melalui agroforestry, kita tidak hanya fokus mengambil hasil kayu, tetapi juga mengembangkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti jernang, madu, rotan, dan tanaman rempah bernilai tinggi. Ini penting agar masyarakat tidak terus bergantung pada penebangan,” ujarnya.

Monalisa menegaskan, sistem ini bisa menjadi bentuk nyata dari green business atau bisnis hijau yang mendukung ekonomi berkelanjutan.

“Sustainable agribusiness sebenarnya bisa terwujud kalau hutan dan lahannya dijaga. Kalau lahan baik, subur, dan produktif, masyarakat bisa terus menanam dan berbisnis tanpa merusak lingkungan,” kata Monalisa.

Namun di sisi lain, Monalisa menyoroti masih lemahnya pendampingan dan pembinaan teknis bagi masyarakat dalam menjalankan praktik agroforestry di Aceh.

“Masalah utama saat ini adalah pembinaan. Tidak hanya pembinaan secara prosedural, tetapi juga pendampingan langsung di lapangan. Harus ada tim yang turun untuk memastikan tanaman sesuai ekosistem dan masyarakat benar-benar didampingi,” jelasnya.

Ia menambahkan, sebagian petani masih belum memahami konsep konservasi dalam konteks bisnis berkelanjutan. Banyak di antara mereka yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek tanpa memperhatikan daya dukung hutan.

“Petani sering berpikir kalau tanamannya terlalu rapat, hasilnya tidak bagus. Padahal dalam agroforestry, jarak tanam, jenis tanaman, dan kombinasi vegetasi sudah diperhitungkan agar saling mendukung,” ujar Monalisa.

Ketika ditanya mengenai dukungan kebijakan dari pemerintah, Monalisa menyebut bahwa program dan kebijakan tentang agroforestry sudah ada, baik di tingkat nasional maupun daerah. Namun implementasinya masih belum optimal.

“Secara kebijakan, pemerintah sudah tahu dan sudah mengatur tentang agroforestry. Hanya saja kita perlu lebih aktif lagi menjalankannya. Apalagi sekarang isu karbon dan kerusakan hutan semakin penting untuk diperhatikan,” jelasnya.

Menurutnya, kebijakan ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah Aceh untuk mendorong masyarakat sekitar hutan agar lebih mandiri dalam mengelola sumber daya alam tanpa merusak ekosistem.

“Ketika hutan rusak, dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Banyak warga yang akhirnya terpaksa pindah ke kota karena kehilangan sumber penghidupan. Sayangnya, di kota pun mereka belum tentu mendapat pekerjaan yang layak,” tutur Monalisa.

Monalisa juga melihat bahwa pendekatan pembangunan di kawasan hutan tidak bisa semata ekonomis. Ia menilai masyarakat sekitar hutan perlu diberdayakan dengan pendekatan sosial dan edukatif agar memahami pentingnya menjaga keseimbangan alam.

“Kadang masyarakat berpikir kalau menebang sedikit tidak akan berdampak besar. Tapi kerusakan hutan itu akumulatif. Sekali rantai pasok bisnisnya jalan, maka sulit dikendalikan. Harus ada penyembuhan dalam arti pendampingan dan perubahan mindset masyarakat tentang hutan,” tegasnya.

Ia mengatakan bahwa agroforestry seharusnya menjadi pilar utama ekonomi hijau Aceh, mengingat daerah ini memiliki hutan tropis luas dan potensi hasil hutan non-kayu yang besar.

“Agroforestry bukan hanya tentang menanam pohon di hutan, tapi bagaimana menyeimbangkan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dengan penelitian yang tepat, dukungan kebijakan yang kuat, dan partisipasi masyarakat, konsep ini bisa jadi masa depan ekonomi hijau Aceh,” pungkasnya. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI