Beranda / Berita / Aceh / Akar Kerusuhan di Aceh Singkil Menurut Ketua FKUB Aceh dan Solusi Redam Polemik

Akar Kerusuhan di Aceh Singkil Menurut Ketua FKUB Aceh dan Solusi Redam Polemik

Rabu, 13 Juli 2022 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh H A Hamid Zein. [Foto: for Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Keberadaan gereja di Aceh Singkil terus menjadi polemik dari masa ke masa. Dalam catatan sejarah, kerusuhan bernuansa agama itu pernah pecah di Kabupaten Aceh Singkil yang mengakibatkan sekelompok orang membakar satu gereja dan satu undung-undung (rumah peribatan berukuran kecil) di Desa Suka Makmur, Aceh Singkil pada tahun 2015.

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh H A Hamid Zein menyatakan, polemik rumah ibadah yang terjadi di Aceh Singkil perlu dicermati bersama dalam artian penyelesaiannya jangan sampai melukai hati semua pihak, baik untuk umat Islam, umat Kristen maupun umat Katolik.

Menurutnya, polemik ini sudah lama terjadi dimulai sejak tahun 1979. Pada saat itu juga sudah ada kesepakatan damai yang dikuatkan pada tahun 2001 dengan difasilitasi oleh unsur Forkopimda dan Pemkab Aceh Singkil

Berdasarkan hasil runding sesuai perjanjian damai antara umat Islam dengan umat Kristen yang dikuatkan lagi dengan musyawarah pada tahun 2001 ditetapkan bahwa di Aceh Singkil hanya dibenarkan berdiri satu gereja dan empat undung-undung.

Akan tetapi, ujar Hamid, usai kesepakatan damai terjadi, gejolak demi gejolak terus berlanjut. Kerusuhan pernah terjadi pada tahun 2006, diikuti pada tahun 2011, dan yang terakhir pada tahun 2015 yang mengakibatkan pembakaran 1 unit gereja di Desa Suka Makmur, Aceh Singkil.

Hamid menegaskan, pada prinsipnya semua pemeluk agama di Indonesia harus mendapat porsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi perlu diingat bahwa Provinsi Aceh adalah daerah otonomi yang asimetris, dalam artian otonomi yang terbangun di Aceh tidaklah sama seperti provinsi lainnya.

Di Aceh terdapat beberapa keistimewaan, semisal dalam bidang agama, bidang pendidikan, bidang peradatan, bidang peran ulama dalam penetapan kegiatan daerah dan lain-lain.

Dalam perkara di Aceh Singkil, kata dia, korelasinya ialah Keistimewaan Aceh bidang agama dan bidang peradatan, karena Provinsi Aceh melalui UU No.44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Aceh, UU No.18/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh sudah diberi kekhususan, salah satunya pelaksanaan syariat Islam.

“Oleh karenanya semua pihak, baik yang ada di Aceh maupun luar Aceh harus menghormati nilai-nilai penegakan syariat Islam,” ujar Hamid kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Rabu (13/7/2022).

Akar Kerusuhan

Menurut Hamid, akar kerusuhan yang terjadi di Aceh Singkil disebabkan karena pembangunan gereja di sana tidak sesuai dengan persetujuan damai yang telah disepakati bersama, yakni 1 gereja dan 4 undung-undung. 

Hari ini, kata dia, sudah tumbuh 24 unit gereja yang dibangun tanpa izin atau mengantongi persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah setempat. Apalagi akses pendirian rumah ibadah harus melalui prosedur dengan melengkapi syarat dan rukun tertentu untuk dipenuhi oleh pemohon sebelum bupati/walikota setempat mengeluarkan izin pendirian rumah ibadah.

Di sisi lain, Hamid mengatakan, Kabupaten Aceh Singkil adalah tempat kelahiran seorang ulama besar Aceh, yakni Syekh Abdurrauf as-Singkili atau dengan nama lengkapnya Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. 

Kabupaten Aceh Singkil, jelas Hamid, juga merupakan daerah sentral perkembangan syariat Islam di Provinsi Aceh, sehingga masyarakat muslim di sana ingin mempertahankan wilayahnya untuk terus bersyariat Islam.

Karenanya, dengan merujuk pada ketentuan penerbitan izin rumah ibadah sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan No.8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, serta Qanun Aceh No.4/2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah, maka Hamid menegaskan bahwa pembangunan rumah ibadah tidak boleh sembarangan.

“Apakah tidak boleh ada agama lain? Boleh. Apakah tidak boleh ada rumah ibadah agama lain? Boleh. Asal saja diikuti tata cara dengan syarat-syarat yang sudah diatur,” ungkapnya.

Mengapa Ada Upaya Ekspansi Pendirian Gereja di Aceh Singkil?

Saat ditanya demikian, Ketua FKUB Aceh itu tidak kuasa menjawab. Ia mengaku tidak tahu karena latar belakang pendirian gereja yang didirikan tanpa memenuhi syarat, alasannya ada di masing-masing dari umat Kristen dan Katolik.

Akan tetapi, Hamid menegaskan, seyogyanya bagi semua pihak yang hidup dalam sebuah negara hukum dan memiliki aturan pemerintahan, baiknya aturan hukum tersebut mesti dijunjung ketika hendak membangun gereja/undung-undung maupun masjid/musala.

Upaya Pemerintah Aceh Redam Perselisihan

Dalam upaya untuk meredam perselisihan yang terjadi, Ketua FKUB Aceh itu menyatakan bahwa Pemerintah Aceh pernah membentuk Tim Pembinaan, Pengawasan, Penanganan Perselisihan atau disingkat TP4 pada tahun 2021 untuk menangani perselisihan rumah ibadah yang terjadi di Aceh Singkil.

Hamid menyatakan, meskipun aktivasi tim TP4 ini sudah berakhir sejak Desember 2021 kemarin, namun dalam perjalanannya tim tersebut sudah melakukan langkah-langkah konkret, sudah melakukan kajian dan juga sudah terjun ke lapangan.

Saat masih aktif, tim TP4 sudah berunding dengan tokoh agama Kristen, sudah berdialog dengan tokoh agama Katolik dan sudah berbicara dengan tokoh agama Islam.

Perkembangan Perundingan Terakhir

Hasil runding terakhir, Hamid menyatakan bahwa umat Kristen di Aceh Singkil mengajukan lebih kurang 19 unit gereja untuk mendapatkan izin pendirian rumah ibadah. Sedangkan umat Katolik meminta agar setidaknya bisa mendirikan paling kurang 2 unit gereja Katolik.

Solusi

Berhubung polemik rumah ibadah ini terus berulang dan terjadi berlanjut-lanjut, Ketua FKUB Aceh Hamid Zein menyampaikan pandangannya yang diharapkan bisa menjadi tawaran solusi untuk meredam polemik ini.

Pertama, kalau populasi penganut agama tidak cukup di wilayah desa, maka bisa dikembangangkan untuk digabung dalam wilayah kecamatan.

Karena, kata dia, di dalam Qanun Aceh No.4/2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah disebutkan bahwa kalau tidak cukup syarat dalam desa maka dapat dikembangkan dalam kecamatan.

“Misalnya ada 6 kecamatan, pas di data cukup mencukupi populasi penganut, maka buat 1 gereja. Diambil solusi itu saja,” ungkapnya.

Solusi kedua, meskipun di dalam satu desa/gampong di Aceh Singkil banyak didiami oleh umat kristiani, akan tetapi Aceh secara umum dan Aceh Singkil secara khusus menerapkan syariat Islam. Maka penentuan jumlah kebutuhan gereja dan undung-undung harus dikaji ulang secara seksama, serta diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. 

“Jadi tidak perlu adanya perang-perangan lagi, tidak perlu adanya gondok-gondokan lagi, tidak perlu ada demo-demo lagi, tapi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat sehingga menimbulkan kerukunan dan ketentraman di Aceh,” tuturnya.

Di penghujung wawancara, Hamid juga berpesan agar permohonan yang diajukan oleh umat Kristen dan umat katolik terhadap rekomendasi izin rumah ibadah supaya dapat dipertimbangkan secara arif dan bijaksana berdasarkan kebutuhan nyata dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai hukum adat yang berlaku di kabupaten Aceh Singkil dan juga didasarkan kepada pelaksanaan syariat Islam. [AKH]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda