DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aktivis lingkungan asal Aceh, Rudi Putra, mengingatkan bahwa krisis iklim bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kenyataan yang kini tengah dirasakan oleh masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Ia menilai, meningkatnya suhu bumi akibat konsumsi hidrokarbon yang berlebihan telah memicu bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan yang kian sering terjadi.
“Kita cukup menyadari krisis iklim ini benar-benar telah terjadi. Konsumsi hidrokarbon yang berlebihan menyebabkan meningkatnya suhu bumi. Dampaknya nyata dengan semakin seringnya bencana seperti banjir dan kekeringan,” ujar Rudi Putra saat dihubungi oleh media dialeksis.com, Minggu (19/10/2025).
Menurut Rudi, peningkatan suhu global berdampak langsung terhadap siklus air di bumi. Air lebih cepat menguap ke atmosfer, menyebabkan cuaca ekstrem yang tidak menentu curah hujan yang sangat tinggi di satu sisi, dan kekeringan panjang di sisi lain. Kondisi ini, katanya, mengancam kehidupan manusia dari berbagai sektor.
“Bila situasi ini terus berlanjut, kita akan menghadapi risiko gagal panen, krisis air, hingga naiknya permukaan laut yang mengancam pemukiman pesisir. Ini bukan lagi sekadar wacana, tapi ancaman nyata terhadap keberlangsungan hidup manusia,” tegasnya.
Peringatan Rudi Putra sejalan dengan laporan terbaru Badan Meteorologi Dunia (WMO) yang menyebutkan bahwa kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer mencapai tingkat tertinggi dalam sejarah manusia pada tahun lalu. Peningkatan ini disebut sebagai lonjakan tercepat sejak pengukuran dimulai pada 1957.
Dalam laporan tersebut, WMO mencatat konsentrasi CO2 global naik hingga 3,5 bagian per juta (ppm) dari tahun 2023 ke 2024 tiga kali lipat lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan pada era 1960-an. Lonjakan emisi ini dipicu oleh pembakaran bahan bakar fosil, kebakaran hutan, serta menurunnya kemampuan hutan dan lautan untuk menyerap karbon.
Rudi mengatakan meski situasi saat ini mengkhawatirkan, bencana global tersebut masih dapat dihindari bila umat manusia bersedia berubah.
Ia menegaskan bahwa langkah penyelamatan bumi harus dilakukan dengan menekan emisi karbon, mengubah pola konsumsi, serta membangun industri yang lebih ramah lingkungan.
“Bencana ini masih bisa dihindari jika kita mau menekan emisi, mengubah pola konsumsi, membangun industri yang bersih, serta merehabilitasi hutan sebagai penampung emisi karbon. Kalau tidak, kepunahan tinggal menunggu waktu,” ujar penerima The Goldman Environmental Prize 2014 itu.
Rudi yang telah lebih dari dua dekade mengabdikan diri pada penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser, hutan seluas 2,6 juta hektar yang menjadi habitat badak sumatera, harimau, gajah, dan orangutan menyebutkan bahwa hutan merupakan paru-paru terakhir dunia yang harus dijaga dengan segala cara.
“Leuser itu jantungnya kehidupan. Saat hutan hilang, bukan hanya satwa yang punah, tapi juga manusia yang kehilangan sumber air, udara bersih, dan keseimbangan iklim,” tegasnya.
Dalam puluhan tahun perjuangannya, Rudi Putra telah memimpin upaya restorasi ribuan hektar kawasan hutan Leuser yang sempat berubah menjadi kebun sawit ilegal.
Ia percaya bahwa pelestarian hutan bukan hanya urusan konservasi satwa, tetapi juga bagian dari solusi global menghadapi krisis iklim.
“Setiap pohon yang kita tanam, setiap hektar hutan yang kita selamatkan, itu berarti kita menurunkan emisi dan memberi kesempatan bagi bumi untuk bernapas lagi,” ujarnya.
Menurut Rudi, masyarakat harus didorong untuk menjadi bagian dari perubahan. Pola konsumsi energi dan gaya hidup harus diarahkan pada prinsip keberlanjutan.
“Kita tidak bisa terus hidup dengan pola lama menguras bumi demi kenyamanan sesaat. Semua orang harus berperan, mulai dari rumah, kantor, hingga industri besar,” tutupnya.