Jum`at, 26 September 2025
Beranda / Berita / Aceh / Banyak RS di Banda Aceh, Pengamat USK: Bukan Karena Warga Aceh Lebih Sakit

Banyak RS di Banda Aceh, Pengamat USK: Bukan Karena Warga Aceh Lebih Sakit

Jum`at, 26 September 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Pengamat kebijakan publik Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Nasrul Zaman. Foto: doc Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Munculnya rumah sakit baru di Banda Aceh dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan beragam tafsir di tengah masyarakat. Namun, menurut pengamat kebijakan publik Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Nasrul Zaman, fenomena itu bukan berarti angka kesakitan masyarakat Aceh tinggi.

“Justru yang terjadi sebaliknya. Tingginya minat berobat masyarakat Aceh tidak lepas dari adanya perlindungan universal melalui Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Program ini membuat akses layanan semakin terbuka,” kata Nasrul kepada Dialeksis, Jumat, 26 September 2025.

Ia merujuk pada data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang mencatat warga Aceh sebagai pengguna layanan dokter spesialis tertinggi dibandingkan daerah lain di Indonesia. “Itu bukan cermin masyarakat kita lebih sakit, melainkan lebih punya kesempatan berobat,” ujarnya.

Nasrul juga menyinggung perubahan besar dalam Undang-Undang Kesehatan terbaru. Regulasi kini memungkinkan jabatan direktur rumah sakit tidak lagi monopoli dokter atau dokter gigi.

“Selama puluhan tahun jabatan direktur selalu diisi tenaga medis, tapi itu tidak serta-merta meningkatkan kualitas layanan rumah sakit,” katanya. Pemerintah kini lebih menekankan kompetensi manajerial. “Siapa pun yang mampu mengelola dengan baik bisa memimpin rumah sakit.”

Bagi rumah sakit swasta, menurut Nasrul, negara tidak punya kewenangan memaksa siapa yang duduk sebagai pimpinan. “Itu hak pemilik rumah sakit. Pemerintah cukup mengawasi agar standar layanan tetap terjaga,” ucapnya.

Soal mutu layanan, Nasrul menilai peran BPJS tak kalah penting. Ia menyoroti skema pembayaran jasa medis yang berbeda dengan negara tetangga.

“Kalau kita bandingkan dengan Malaysia atau Singapura, di sana diagnosis pasien dilakukan secara tim dokter. Model itu belum masuk dalam pola pembayaran BPJS, sehingga membatasi optimalisasi layanan,” ujar dia.

Persoalan lain yang tak kalah genting adalah limbah medis. Nasrul menegaskan, biaya pengelolaannya sangat mahal dan tidak semua rumah sakit mampu menanganinya.

“Untuk itu pemerintah sudah membangun fasilitas pengelolaan limbah regional di Sumatera Utara yang dikelola BUMN. Langkah ini penting agar rumah sakit di Aceh dan wilayah Sumatera lain tidak terbebani biaya besar,” katanya.

Menurut Nasrul, arah kebijakan kesehatan di Aceh harus dilihat sebagai upaya memperluas akses dan meningkatkan mutu layanan, bukan sekadar indikator statistik.

“Masyarakat harus mendapat pelayanan layak, aman, dan setara. Rumah sakit dikelola profesional, pemerintah hadir sebagai regulator, dan BPJS memperkuat skema pembayaran agar sesuai kebutuhan nyata di lapangan,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bpka - maulid