Beranda / Berita / Aceh / Benarkah Rokok Berkontribusi Terhadap Angka Kemiskinan di Aceh, Ini Kata BPS Aceh

Benarkah Rokok Berkontribusi Terhadap Angka Kemiskinan di Aceh, Ini Kata BPS Aceh

Minggu, 21 Februari 2021 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Koordinator Fungsi Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Dadan Supriyadi. Foto: IST 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Fungsi Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Dadan Supriyadi mengatakan, angka kemiskinan yang rutin dirilis oleh BPS, merupakan kemiskinan makro (gambaran tingkat kemiskinan suatu wilayah: Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota) Untuk mengukur kemiskinan makro, BPS menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic needs approach). 

Hal ini, sebut dia, tidak hanya digunakan di Indonesia. Sesuai dengan rekomendasi PBB dan lembaga lainnya seperti World Bank. Ia mengatakan, banyak negara yang menggunakan pendekatan ini utamanya negara-negara berkembang. 

“Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan (makanan & bukan makanan),” jelas Supriyadi kepada Dialeksis.com, Minggu (21/2/2021).

Untuk Makanan, lanjut dia, ada 52 komoditas yang digunakan dan bukan makanan ada 47 komoditas (perdesaan) dan 51 komoditas (perkotaan). Setiap daerah dan setiap waktu, sambung dia, memiliki Garis Kemiskinan yang berbeda. Pada September 2020 Garis Kemiskinan di Aceh sebesar 524.208 per orang per bulan. 

“Metode ini dipakai BPS sejak Tahun 1998 supaya hasil penghitungan konsisten dan terbanding dari waktu ke waktu (apple to apple),” jelas Supriyadi.

Untuk keperluan program intervensi melalui berbagai program, kata dia, pemerintah menggunakan Basis Data Terpadu atau saat ini dikenal dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dikelola oleh Kemensos. 

“Data yang terdapat pada DTKS tidak hanya berisi data orang miskin saja, namun juga ada hampir miskin dan sebagainya, makanya disebut Data Terpadu,” ungkap Supriyadi.

Kedua data ini, lanjut dia, tentunya berbeda pendekatannya namun tetap ada hubungannya. 

”Jadi Data Kemiskinan Makro digunakan untuk melihat capaian, progres dari program pengentasan kemiskinan di suatu daerah. Sedangkan data DTKS sebagai data targeting dari program pemerintah terkait pengentasan kemiskinan (PKH, Bansos, dll),” jelas dia.

Selain itu, Dadan Supriyadi mengatakan, dalam memilih daftar komoditas garis kemiskinan, tentunya berdasarkan penelitian sebelumnya (sejak tahun 1998). Salah satunya adalah yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di berbagai wilayah dan share terhadap pengeluaran cukup besar. 

“Di seluruh wilayah Indonesia selain beras, rokok termasuk komoditas yang paling banyak dikonsumsi. Secara metodologi, BPS tentu bukan hanya sudah berstandar nasional namun juga internasional. Secara khusus BPS juga dikawal oleh FMS (Forum Masyarakat Statistik) yang beranggotakan pakar-pakar statistik dari Perguruan Tinggi dan praktisi dan senantiasa memberikan masukan untuk penyempurnaan metodologi seiring perkembangan jaman dan masyarakat,” sebut Supriyadi.

Sementara itu, ia membenarkan angka temuan Rokok mempengaruhi kemiskinan tersebut. Namun, kata dia, sayangnya tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok di kaum muda. Terlihat dari data jumlah perokok yang makin meningkat di usia Produktif.

“Iya betul, data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018 menunjukkan prevalensi pengguna rokok 15 tahun ke atas sebesar 33,8 persen dan khusus umur 10-18 tahun sekitar 9 persen. Inilah potretnya, padahal kalau pengeluaran untuk rokok bisa dialihkan untuk hal lainnya yang positif, tentunya akan lebih bermanfaat,” pungkas dia.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda