Beranda / Berita / Aceh / BPKH Tidak Berhak Investasi atas Wakaf Baitul Asyi

BPKH Tidak Berhak Investasi atas Wakaf Baitul Asyi

Minggu, 11 Maret 2018 01:33 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : jais

DIALEKSIS.COM | Kuala Lumpur - Rencana pengelolaan Tanah Wakaf Aceh di Mekkah, Arab Saudi yang sekarang dikelola oleh Baitul Asyi untuk diambil-alih oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), selain tidak sesuai Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan hukum Islam, juga tidak hak pihak lain dan intervensi dengan dalih apa pun.

"Bila BPKH berdalih investasi akan mengambil-alih pengelolaan wakaf baitul Asyi, akan melabrak amanat UUPA tentang hukum Muamalat yaitu mengambil alih hak warga Aceh oleh pemerintah RI. Dalih apa pun tidak bersesuaian dengan hukum Syariat," tegas Muhammad Razi, MCL, kandidat doktor perbandingan hukum di International Islamic University of Malaysia (IIUM) yang diwawancari koresponden dialeksis,com di Kuala Lumpur, Sabtu (11/03/2018).

Menurutnya bila Baitul Asyi, memang ingin dijadikan ladang investasi, maka hanya pemerintah Aceh lah yang berhak, bukan pemerintah pusat. Hal itu sebagaimana diamanatkan UUPA no. 11 2006 tentang pemerintahan Aceh yang memiliki wewenang tersendiri dalam menjalankan roda pemerintahan. Arrtinya, pemerintah Aceh punya kepastian hukum untuk menerapkan undang-undang dalam segala aspek, baik Ekonomi, sosial dan budaya serta agama.

Dikatakan, dalam UUPA Bab XVII pada Pasal 125 ditegaskab tentang syariat Islam dan pelaksanaannya yang meliputi Aqidah, Syar'iyyah dan Akhlak. Nah, untuk point Syariat Islam itu sendiri terdiri dari Ibadah, Ahwal-Al-Syakhsiyyah(Hukum Keluarga, Muamalah (Hukum perdata) dan lain-lain.

"Persoalan Wakaf adalah persoalan syariah, dalam UUPA sendiri telah menjamin bagi masyarakat Aceh untuk menjalankan Syariat Islam seperti yang tertuang dalam Pasal 125-127," papar Razi yang juga alumnus Dayah Mudi Samalanga.

Dijelaskan, wakaf adalah apa-apa harta yang apabila telah dijadikan objek wakaf maka tidak boleh lagi diperjual-belikan, hibah, dan wasiat, Barang (harta) tersebut harus kekal dengan niat mendekatkan diri pewakif kepada Allah swt.

Dilihat dari perspektif syariat Islam, papar Razi, wakaf itu tidak boleh digunakan atau dimanfaatkan terlepas dari niat si-wakif pada saat harta itu diwakafkan. Apalagi tehadap Baitul Asyi diperkuat dengan ikrar sendiri oleh Habib Abdurrahaman atau yang lebih dikenal dengan Habib Bugak Asyi di depan Mahkamah Syar'iyyah Mekkah.

"Tanah wakaf yang terletak tidak jauh dari Masjidil Haram telah diwakafkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1224 H atau sekitar tahun 1880 M diperuntukkan untuk masyarakat atau pelajar Aceh dan sudah diikrarkan langsung oleh Habib di Mahkamah Syar'iyyah Mekkah, bahwa wakaf ini adalah waqaf muqayyad (Waqaf bersyarat) bukan waqaf mutlak," jelas alumnus Master of Comperative Laws IIUM. 

Sepatutnya, ulasnya lagi, mengenai pengalihan pengelolaan tanah wakaf Aceh di Mekkah tidak perlu terjadi dikarenakan pemerintah Aceh lebih berhak mengelola dan sekaligus mengembangkan investasi atas tanah wakaf tersebut.

"Harta Tanah waqaf tersebut awalnya memang diperuntukkan untuk masyarakat dan pelajar Aceh yang ada di Mekkah, jadi untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan yang tidak sesuai dengan niat si pewakif, maka pemerintah Aceh berhak mengelola sekaligus menjaga tanah waqaf tersebut dengan membuat regulasi yang tepat," jelas Candidate PhD Law di International Islamic University of Malaysia (IIUM).

Lagi pun, selama ini Baitul Asyi tersebut sudah dikelola dengan baik oleh Nadhir waqaf Habib Bugak yang ada di Mekkah dan tidak ada permasalahan apapun. "Secara aturan hukum, pemerintah pusat tidak mempunyai wewenang mengelola tanah waqaf tersebut, apalagi dengan dalih untuk lakukan investasi," demikian Muhammad Razi.[*]


Keyword:


Editor :
Ampuh Devayan

riset-JSI
Komentar Anda