DIALEKSIS.COM | Takengon - Siti Fatimah (42) berdiri di atas petak sawah sewaan yang baru ditanami bawang merah. Di bawah terik matahari di tepi Danau Lut Tawar, ia mengecek satu per satu lubang tanam, memastikan benih bawang tertanam rapi.
Ini bukan pekerjaan yang ia impikan sejak dulu. Namun bagi Fatimah, ini adalah satu-satunya jalan bertahan hidup setelah pemerintah melarang alat tangkap yang dianggap ilegal dan merusak ekosistem ikan endemi yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya -- cangkul padang.
Sudah sembilan tahun lamanya ia dan suaminya menggantungkan nafkah dari danau yang tenang itu. Dengan menggunakan cangkul padang, mereka menangkap ikan depik dan mujair. Hasil tangkapan yang dijual untuk biaya makan, sekolah anak, dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Hasilnya memang tak seberapa, tapi cukup untuk bertahan. Hingga akhirnya, kebijakan itu datang.
“Cukuplah untuk kebutuhan sehari hari anak sekolah,” ujarnya dengan nada pasrah.
Pemerintah menertibkan penggunaan alat tangkap ilegal seperti cangkul padang dan cangkul dedem. Alasannya untuk menjaga ekosistem Danau Lut Tawar yang kian terancam. Bagi pemerintah, ini soal kelestarian. Tapi bagi Fatimah, ini soal bertahan hidup.
“Punya kebun kopi, tapi kecil. Kalau hanya harap dari kopi, tidak cukup. Sekarang semuanya mahal. Biasanya dibantu dari hasil cari ikan. Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi,” katanya.
Sejak itulah, ia mulai beralih menanam bawang. Lahan sawah bekas panen padi disewanya dari petani lain. Biaya sewanya senilai Rp2,7 juta per tahun untuk dua musim tanam. Bawang merah varietas Gayo ditanam dua kali setahun. Hasilnya belum pasti, tapi mereka tak punya banyak pilihan.
Fatimah mengakui, berpindah dari nelayan ke petani bukan perkara mudah. Selain biaya, ia juga butuh ilmu baru. Tapi ia tak sendiri. Pemerintah melalui Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tengah mulai mendorong petani dan mantan nelayan seperti Fatimah untuk mengisi masa jeda tanam padi dengan menanam komoditas seperti bawang merah.
Harapannya, perputaran ekonomi terus berjalan, bahkan ketika panen padi sudah selesai.
Fatimah sendiri tak meminta banyak. Ia hanya ingin pemerintah menepati janji untuk memberikan bantuan pengganti bagi para nelayan yang kehilangan mata pencaharian. Ia tidak keberatan jika bantuan datang dari sektor pertanian maupun perikanan. Baginya, yang penting ada solusi nyata.
“Boleh apa aja bantunnya asal ditepati ada, boleh ternak, modal usaha atau bantuan untuk bertani yang penting ada,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Aceh Tengah, Nasrun Liwanza, menyampaikan apresiasinya kepada warga yang taat terhadap kebijakan dan beralih ke sektor pertanian.
Menurutnya, perpaduan antara kesadaran lingkungan dan pengembangan pertanian menjadi langkah strategis dalam menjaga keseimbangan alam dan ekonomi masyarakat.
“Nelayan Cangkul padang dan cangkul dedem akan kita bantu. Kita apresiasi mereka taan dengan aturan pemerintah, ini sangat kita dukung,” pungkasnya. [rg]