Beranda / Berita / Aceh / Direktur Eksekutif The Aceh Institute: Naif Bila Pemekaran Aceh Terkait Project Multiyear

Direktur Eksekutif The Aceh Institute: Naif Bila Pemekaran Aceh Terkait Project Multiyear

Minggu, 27 September 2020 21:20 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

[Foto: Ist]

DIALEKSIS.COM| Banda Aceh- Direktur Eksekutif The Aceh Institute, Fajran Zain memberikan penilaian, isu pemekaran provinsi ALA ABAS bisa muncul kapanpun, sesuai dengan situasi politik yang menggiringnya.

Menjawab Dialeksis.com, Minggu (27/09/2020) Direktur Eksekutif The Aceh Institute menilai, kemunculan isu pemekaran itu kali ini agak sedikit naif. Desakan pemekaran muncul terkait dengan project multiyear yang secara kebetulan terletak di beberapa wilayah dalam zona Tengah-Tenggara dan Zona Barat-Selatan.

“Kalau project batal maka akan ada tuntutan pemekaran dan kalau project dilanjutkan maka tuntutan pemekaran akan dihentikan. Pertanyaannya, apakah martabat penduduk yang berdomisili di kedua zona itu seharga nilai project multiyear,” tanya Fajran Zain.

Menurut Fajran Zain, isu ini sebenarnya bukan isu baru, tetapi isu lama. Hanya saja pemain saat ini yang orang-orang baru. Sebagai agenda politik tentunya isu ALA-ALBAS bisa muncul kapan pun, sesuai dengan situasi politik yang mengiringinya.

Di era 1998-2004 isu ALA-ABAS muncul atas skenario pusat yang ingin melokalisir konflik. Maka dibuatlah peta mana daerah merah, dan mana daerah abu-abu, dan mana daerah putih. Proses lokalisasi seperti itu adalah untuk memudahkan jenis treatment, atau pendekatan keamanan yang akan diterapkan oleh pusat. Pada titik ini pemekaran adalah kehendak pusat.

Menurut Fajran di era 2006-2009 isu ALA-ABAS muncul lagi sebagai respon atas fakta diskriminasi pembangunan dan diskriminasi sosial yang dialami oleh kabupaten-kabupaten di Zona Tengah Tenggara dan Zona Barat Selatan.

“Alokasi dana pembangunan yang minim, dan serapan putra-putra terbaik dari kedua zona tersebut ke ibukota propinsi juga rendah. Potensi dan aktualisasi mereka tidak terlihat. Keberadaan ALA-ABAS dalam propinsi Aceh memang dianak-tirikan, dan diperlakukan sebagai warga kelas dua,” sebutnya.

 Pada titik ini, kata Fajran, desakan pemekaran adalah kehendak rakyat sebagai respon atas praktek diskriminasi dan penganaktirian yang dilakukan oleh pemerintah Aceh.

Bagaimana dengan kemunculan kali ini? Fajran Zain memberikan penilaian, kemunculan kali ini agak sedikit naif. Desakan pemekaran muncul terkait dengan project multiyear yang secara kebetulan terletak di beberapa wilayah dalam zona Tengah-Tenggara dan Zona Barat-Selatan.

“Kalau project batal maka akan ada tuntutan pemekaran dan kalau project dilanjutkan maka tuntutan pemekaran akan dihentikan. Pertanyaannya, apakah martabat penduduk yang berdomisili di kedua Zona itu seharga nilai project multiyear,” tanya direktur the Aceh Institute ini.

Apakah ini murni keinginan masyarakat? Menurut Fajran Zain, gerakan pemekaran propinsi kali ini tidak memiliki akar yang ideologi, bukan berangkat dari rasa ketergugahan identitas, tapi cenderung berangkat dari aspirasi yang pragmatic.

“ Karena project multiyear batal, lalu minta propinsi sendiri. Kalau multiyear lanjut, maka bisa ditebak aspirasi pemekaran akan meredup lagi. Kita juga bisa identifikasi siapa saja actor intelektual di belakang isu in,” jelasnya.

“Adik-adik mahasiswa atau paguyubankan hanya kelompok yang digerakkan dan ditarik masuk dalam irama permainan politik ini saja. Tidak semua mahasiswa juga mau, dan bisa digerak-gerakkan begitu saja. Masih banyak juga yang idealis dan mau berkarya dengan idealismenya itu,” kata Fajran.

Apakah memungkinkan pemekaran itu terjadi?

“Sejauh ini sikap pemerintah tetap merujuk pada kesepakatan moratorium bahwa tidak ada pemekaran propinsi hingga tahun 2026 demi mempertimbangkan beberapa kondisi objective ratusan daerah yang sudah menjalani pemekaran sejak era reformasi dimulai,” sebutnya.

 Artinya menueut Fajran, aspirasi pemekaran ALA-ABAS tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Kalaupun akan ada pemekaran daerah di Indonesia , katakanlah Papua, tentu harus dilihat dalam aspek geostrategic dan peta keamanan nasional.

“Dalam kondisi emerjensi, bisa dimaklumi bila kondisi moratorium itupun akan mendapat dispensasi. Sama seperti Aceh yang dulu sering mendapatkan dispensasi kebijakan demi mempertimbangkan aspek geopolitik strategis diatas,” sebut Fajran.

Pertanyaannya, kata dia, apakah ada kondisi emerjensi yang membuat pemerintah di Jakarta harus segera mengabulkan aspirasi pemekaran ALA-ABAS ini, tanya direktur Aceh Institute ini.

Seperti apa apakah jika Aceh pecah melalui pemekaran?

Banyak perubahan yang akan terjadi, itu sudah pasti. Banyak regulasi-UU dan Qanun- yang harus disesuaikan ulang. Boleh jadi kekhususan dan keistimewaan untuk Aceh seperti yang selama ini berlaku, akan mengalami reduksi juga.

Tapi bab itu kita bahas nantilah, sambil memantau perkembangan selanjutnya pasca interpelasi PLT. Iklim politik lokal masih gamang sekali, jelasnya. (baga/ BY)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda