Beranda / Berita / Aceh / Dr. Rita Khathir, S.TP., M.Sc,: Perbankan Aceh Akankah Shutdown?

Dr. Rita Khathir, S.TP., M.Sc,: Perbankan Aceh Akankah Shutdown?

Senin, 16 November 2020 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dosen Fakultas Pertanian Unsyiah Dr. Rita Khathir, S.TP., M.Sc, membuat tulisan yang soal perbankan Aceh. Walau dia sebagai dosen Fakultas Pertanian, namun Rita justru bukan menulis tentang pertanian, akan tetapi menyentil keadaan perbankan di Aceh, khususnya syariah.

Dalam tulisanya yang dimuat di Harian Serambi Indonesia, 14 November lalu, Dr. Rita Khathir mengurai bagaimana keadaan perbankan di Aceh saat sekarang ini.

Menurut Rita Khathir, Perbankan syariah secara total Aceh telah digagas, merupakan suatu hal yang sangat membanggakan kita semua. Perbankan syariah adalah harapan bagi masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan dengan perputaran uang yang terjaga kehalalannya.

Rita mempersoalkanya, kenapa pola penerapan bank syariah di Aceh seolah menuai badai masalah, bukan menggapai maslahah?

Menurutnya, masyarakat harus mengantri panjang di bank-bank di masa pandemi karena berbagai kasus seperti pemblokiran atm. Masyarakat juga kelabakan ketika semua mesin atm tidak berfungsi, di mana beberapa atm bank konvensional seperti bank mandiri sudah tidak ada lagi.

“Fasilitas setor tunai melalui atm adalah salah satu layanan yang kiranya akan segera hilang bagi masyarakat Aceh,” tulis Rita.

“Polemik yang terjadi akibat kebijakan ini sangat dramatis. Seorang ibu-ibu dengan sangat sedih sampai memohon kepada teller agar uangnya dapat diambil, sebab ada keperluan membayar tagihan yang sudah deadline,” jelas Rita.

Semenatara atm-nya terblokir dan sementara pelayanan di bank tersebut sangat macet karena membludaknya masyarakat yang terimbas. Perasaan terjajah lagi betul-betul lahir dalam situasi seperti ini yang sudah tentu tidak diketahui oleh para pejabat Aceh yang sentiasa berada dalam zona aman dan nyaman. Lagi-lagi masyarakatnya terdhalimi dengan kebijakan yang tidak bijaksana, jelasnya.

Rita menyebutkan, di tempat lain, seorang pengusaha pangkalan gas elpiji subsidi harus mengurut dada, atm-nya diblokir lalu harus mengantri sepanjang hari untuk proses pembukaan blokir tersebut.

“Proses tebus gas ke pertamina harus tetap melalui sistem brimola di BRI konvensional, dan untuk memasukkan uang hasil penjualan gasnya dia harus melakukan di bank syariah dan kemudian melakukan transfer antarbank agar proses tebus selanjutnya dapat dilakukan,” sebut Rita.

Dosen ini juga menulisakan beberapa contoh lainya. Bahkan dia menulis seorang bapak marah marah ketika atm berlogo bank syariah tidak bisa dipakai.

“Apakah yang sedang terjadi di Aceh, akan shutdown kah layanan perbankan di Aceh? Siapakah yang mau diuntungkan dengan program Pemerintah yang seperti ini?” tanya Rita.

Menurutnya, hal ini tidak lain adalah dampak dari kebijakan top to bottom yang salah juknisnya. Pemerintah mengharuskan semua bank konvensional untuk angkat kaki dari Aceh.

Dapat dikatakan ini adalah bentuk pengusiran perbankan konvensional seolah-olah hendak menghapuskan posisi bank-bank tersebut. Seluruh perkantoran bank konvensional ditutup, seluruh mesin atm-nya diangkat dan bahkan seluruh pegawai juga harus keluar dari Aceh, jelasnya.

“Kalau dalam suatu kompetisi, ini adalah metode yang tidak sehat dimana memanfaatkan kesempatan untuk mendeskriditkan lawan,” sebut Rita dalam tulisanya.

“Rasa-rasanya kita ingin memeriksa dompet para pejabat Pemerintah Aceh, apakah mereka masih memiliki kartu-kartu atm bank konvensional? Apakah Pemerintah mau nyaman tapi masyarakatnya susah?” Rita kembali mengajukan pertanyaan.

Apakah Pemerintah dalam hal ini memahami dengan baik jenis-jenis transaksi perbankan yang diperlukan masyarakatnya? Bagaimana sistem tebus barang di agen-agen yang bekerja di bawah perusahaan nasional, bagaimana sistem perdagangan nasional dan internasional dapat dilakoni oleh warganya melalui alibaba, tokopedia, bukalapak, dll, tanya dosen ini.

Menurut Rita, pemerintah mengharuskan warganya untuk konversi rekening banknya ke bank syariah, tanpa pertimbangan apakah sumber daya perbankan syariah sudah memadai? Apalagi di tengah ekonomi yang carut marut dengan pandemic Covid-19, isu konversi total bank syariah ini menjadi virus lain yang akan memandulkan perekonomian masyarakat.

Rita bukan hanya mengkritik perbankan syriah, namun dia juga mengkritisi perbankan konvensional. Menurutnya, pihak bank konvensional juga telah melakukan hal yang anti undang-undang KUHAP yaitu melakukan pemblokiran layanan kepada nasabahnya, misalnya pemblokiran atm.

Padahal, menurutnya, hal pemblokiran boleh dilakukan apabila seseorang terlibat kasus tindak pidana, bukan dalam hal tidak melakukan konversi rekeningnya. Sebagian masyarakat yang masih membutuhkan layanan bank konvensional seolah dipaksa untuk menutup rekening banknya dan hanya membuka rekening bank syariah saja, tulis Rita.

Rita juga mempertanyakan, apakah warga Aceh tidak boleh memiliki rekening di bank konvensional? Lalu bagaimana mereka akan mengirimkan uang kepada anak yang sedang kuliah di luar daerah? Bagaimana mereka akan membayar tagihan kartu kredit dan listrik?

Bagaimana mereka akan melakukan transaksi belanja online yang termudahkan dengan rekening di bank-bank bonafit seperti bank central asia (BCA), bank mandiri atau bank BNI? Bagaimanakah nasib pekerja-pekerja perusahaan nasional dan multinasional? Bagaimanakah nasib turis yang datang ke Aceh nantinya ketika atm mereka tidak berfungsi? Bagaimanakah para investor dapat berbisnis dengan lancar?

Pertanyaan Rita bagaikan mewakil para nasabah yang saat ini mengalami kesulitan dalam memanfaatkan fasilitas bank.

Menurut Rita, fungsi bank adalah sebagai tempat menyimpan uang yang aman dan memudahkan transaksi di era digital ini seperti membayar tagihan dan belanja secara nontunai. Sejauh seseorang menggunakan fungsi bank ini, maka jenis bank apapun adalah tidak melanggar syariat Islam.

Sedangkan dalam hal tujuan penyimpanan uang adalah untuk investasi atau untuk pembiayaan, maka perbankan yang melaksanakan akad syariah harus dijadikan pilihan oleh masyarakat.

Menurut Rita, pemahaman yang seperti ini seharusnya dibangun sehingga pikiran kita tidak jatuh kolot dan seperti memaksakan diri untuk menguasai perbankan di Aceh dengan bank syariah ketika sumber daya yang dimiliki belum mencukupi.

Rita mempertanyakan kenapa tidak sebagai alternatif, Pemerintah memperkuat eksistensi bank syariah di Aceh, sehingga lambat laun masyarakat akan beralih dengan sendirinya ke perbankan syariah, kalau benar ia syariah.

Terutama sekali, sebutnya, sistem di bank lokal yang kita cintai yaitu bank Aceh. Sampai saat ini bank Aceh belum memiliki fasilitas layanan transaksi digital berbasis internet atau mobile banking, kecuali sistem sms banking.

“Penguatan bank lokal dengan teknologi digital dan sistem perbankan syariah seharusnya dapat dilakukan oleh Pemerintah apabila benar ingin mensupport perekonomian masyarakat,” sebut Rita.

Pelayanan bank Aceh, katanya, harus prima di segala segi, terutama di segi keramahan dan kecepatan petugas bank dalam memberikan pelayanan kepada nasabah. Bank Aceh dapat mengucurkan berbagai produk yang menggunakan akad syariah misalnya tabungan mudharabah dan wadiah, program pembiayaan atau jual beli berbasis syariah dan program investasi bagi hasil berbasis syariah.

Menurut dosen ini, beberapa kearifan lokal dapat diadaptasikan dalam program bank Aceh seperti transaksi mawah. Dan perlu usaha serius dari pemerintah untuk memberantas rentenir-rentenir yang berjamur di tengah masyarakat yang sejatinya merupakan penyebab rusaknya perekonomian masyarakat.

“Usaha rentenir semacam ini patut dikategorikan sebagai kejahatan karena sifatnya yang sangat parasit dengan sistem pelipatgandaan uang,” sebutnya.

Kesadaran masyarakat bahwa perbankan syariah adalah solusi alternatif pengganti rentenir perlu dipromosikan oleh Pemerintah dengan lebih gencar. Semoga implementasi bank syariah membawa maslahah bagi Aceh, tulis Rita mengahiri pendapat opininya di media. (baga) 

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda