DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Polemik penetapan empat pulau -- Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek--sebagai bagian dari wilayah administratif Sumatera Utara kembali memantik bara semangat perjuangan rakyat Aceh.
Keputusan Kementerian Dalam Negeri RI melalui SK Nomor 300.2.2“2138 Tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau tersebut masuk dalam Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut, dianggap mencederai kedaulatan wilayah Aceh yang telah diakui dalam berbagai dokumen sejarah dan hukum.
Ketua Umum Partai Perjuangan Aceh (PPA), Prof Adjunct Dr. Marniati, MKes menilai keputusan pemerintah pusat bukan hanya melukai hati rakyat Aceh, namun juga berpotensi mengguncang stabilitas sosial-politik yang telah dijaga pasca-perdamaian Helsinki.
“Kami mendesak Pemerintah Aceh untuk tidak tinggal diam. Empat pulau itu adalah bagian dari tanah Aceh dan harus kembali ke pangkuan wilayah Aceh. Pemerintah pusat harus duduk bersama Pemerintah Aceh menyelesaikan masalah ini dengan adil dan bermartabat,” kata Prof Marniati kepada Dialeksis.com, Jumat, 13 Juni 2025.
Menurutnya, penanganan yang lamban hanya akan membuka ruang ketegangan baru antara dua provinsi yang selama ini hidup berdampingan damai.
"Ini saatnya Presiden menunjukkan komitmen terhadap keutuhan wilayah, keadilan sejarah, dan stabilitas nasional,” ujarnya.
Prof Marniati mengungkapkan bahwa penetapan sepihak oleh Mendagri telah bertentangan dengan semangat perdamaian sebagaimana dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Salah satu poin krusial yang disebutkan adalah Pasal 1.1.4 MoU yang menyatakan bahwa batas wilayah Aceh merujuk pada peta administratif tahun 1956.
“Pemerintah pusat seharusnya menghormati MoU Helsinki, bukan malah membuat keputusan yang menyalahi ruh perdamaian itu. Jangan nodai perdamaian Aceh dengan tindakan administratif yang mengabaikan sejarah dan hukum,” ucapnya.
Selain itu, ia menekankan bahwa keputusan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menyatakan bahwa setiap kebijakan yang berkaitan dengan wilayah Aceh harus melalui konsultasi dengan Gubernur Aceh.
"Dalam kasus ini, jelas tidak ada konsultasi. Ini sebuah pengingkaran terhadap UU,” katanya.
Prof. Marniati juga mengingatkan publik bahwa pada tahun 1992 pernah ada kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara yang disaksikan langsung oleh Mendagri, yang menyatakan bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil.
“Kalau hari ini disebut pulau itu milik Sumut, bagaimana dengan dokumen kesepakatan tahun 1992 itu? Apakah pemerintah pusat mau menghapus sejarah hanya dengan selembar SK?” tanyanya retoris.
Sebagai partai lokal yang berakar dari perjuangan identitas Aceh, PPA tak tinggal diam. Prof Marniati menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk bersatu mengawal isu ini. Ia mengajak para tokoh politik, ulama, akademisi, mahasiswa, dan pemuda untuk bersama-sama menuntut keadilan dan kedaulatan wilayah Aceh.
“Aceh wajib menjaga martabatnya. Jangan biarkan satu demi satu wilayah kita diambil tanpa perlawanan. Jika kita punya dokumen dan data kuat, kita harus perjuangkan hingga titik penghabisan,” tegasnya.
Prof. Marniati juga meminta agar Pemerintah Aceh segera membentuk tim khusus yang terdiri dari ahli hukum, ahli tata batas, sejarawan, dan tokoh-tokoh diplomasi untuk menyusun strategi litigasi maupun diplomasi yang tepat.
Prof. Marniati menambahkan bahwa waktu terus berjalan dan Pemerintah Aceh tidak boleh membiarkan polemik ini menjadi abu-abu.
"Jangan sampai masyarakat Aceh merasa bahwa pemerintah daerahnya tidak berdaya membela haknya sendiri. Ini bukan hanya soal pulau, ini soal harga diri Aceh," pungkasnya.