DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh, A. Hamid Zein atau akrab disapa Ayah Hamid, mendorong agar Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah segera dievaluasi dan direvisi.
Menurutnya, terdapat sejumlah pasal dalam qanun tersebut yang dinilai diskriminatif serta membatasi peran FKUB dalam menjaga toleransi di tengah masyarakat Aceh.
“Beberapa pasal memang perlu ditinjau ulang. FKUB seharusnya punya kewenangan yang lebih luas untuk membantu gubernur, bupati, dan wali kota dalam merawat kerukunan. Saat ini, ruang gerak kami belum maksimal,” ujar Ayah Hamid dalam kegiatan Diseminasi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan Evaluasi Qanun No. 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah yang digelar KontraS Aceh di Banda Aceh, Jumat, 8 Agustus 2025.
Ayah Hamid menegaskan, secara umum kerukunan antarumat beragama di Aceh selama ini berjalan sangat baik. Ia menilai, harmoni tersebut tidak lepas dari landasan hukum yang kuat, mulai dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, hingga Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam.
“Selama ini, FKUB Aceh bersama FKUB di kabupaten/kota, serta dinas dan lembaga terkait seperti Kesbangpol, rutin menggelar pertemuan, menyuarakan pentingnya kerukunan, dan menyelesaikan potensi konflik di tingkat daerah. Hasilnya, hubungan antarumat beragama di Aceh relatif kondusif,” jelasnya.
Namun, di balik situasi yang kondusif tersebut, Ayah Hamid mengingatkan bahwa regulasi yang ada belum sepenuhnya mendukung upaya pemeliharaan kerukunan secara efektif. Beberapa pasal, kata dia, justru membatasi fungsi FKUB dan memunculkan kesan diskriminatif.
Salah satu poin yang disorot Ayah Hamid adalah syarat pendirian rumah ibadah dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2016 yang dinilai lebih berat dibandingkan Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri.
“Dalam PBM, syarat dukungan untuk mendirikan rumah ibadah adalah 60 orang pengguna dan 90 tanda tangan warga sekitar. Sedangkan qanun kita menetapkan 140 orang pengguna dan 110 tanda tangan. Perbedaan ini cukup signifikan,” katanya.
Menurut Ayah Hamid, meski aturan tersebut merupakan hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif Aceh, perbedaan angka ini perlu dievaluasi agar tidak menjadi hambatan bagi pemenuhan hak beribadah warga, khususnya umat non-Muslim di daerah yang jumlah penganutnya sedikit.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah cakupan penerapan qanun yang dinilai hanya mengatur umat non-Muslim.
“Untuk pendirian masjid atau musala umat Islam tidak diatur dalam qanun ini. Teman-teman mendorong agar ada pasal yang mengatur penataan masjid dan musala. Dengan begitu, qanun ini tidak lagi dipandang diskriminatif,” ungkap Ayah Hamid.
Meski begitu, ia mengakui terdapat pandangan berbeda dari sejumlah pihak. misalnya, beranggapan bahwa karena Aceh adalah daerah yang 99 persen penduduknya Muslim dan menerapkan syariat Islam, maka pengaturan pendirian masjid atau musala tidak diperlukan.
“Kalau pun pemerintah dan DPR Aceh sepakat menambahkan aturan terkait pendirian masjid, FKUB siap memasukkan pasal tersebut,” ujarnya.
Ayah Hamid mencontohkan, di beberapa kabupaten seperti Aceh Jaya dan Aceh Tamiang, terdapat komunitas non-Muslim yang hingga kini belum memiliki rumah ibadah resmi.
“Jika syarat 140 pengguna dan 110 tanda tangan tidak terpenuhi, mestinya pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi satu tempat ibadah resmi. Jadi jelas, kalau ada yang bertanya apakah di kabupaten itu ada rumah ibadah, kita bisa menunjukkan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti situasi di Kabupaten Aceh Singkil, yang mayoritas penduduknya Muslim namun memiliki jemaat Kristen dari kalangan pekerja perkebunan.
“Di sana sudah ada satu gereja resmi, itu hasil kesepakatan bersama. Kalau ada kelompok lain yang ingin membangun, sebaiknya diatur jadwal ibadahnya, bukan menambah jumlah bangunan,” jelasnya.
Beberapa pengajuan rumah ibadah di Aceh Singkil, kata dia, masih dipertimbangkan oleh pemerintah setempat. FKUB sendiri tidak punya kewenangan memutuskan, tetapi dapat memberi masukan dan rekomendasi.
“Kewenangan penuh ada di bupati dan pemerintah kabupaten/kota,” katanya.
Ayah Hamid mengatakan bahwa revisi qanun harus berfokus pada penguatan FKUB, terutama dalam hal tugas pokok, fungsi, dan kewenangan.
"Tugas pokok, fungsi, dan kewenangan FKUB perlu diperluas, diperpanjang, dan diperdalam. Supaya kami bisa maksimal membantu gubernur, bupati, dan wali kota menjaga kerukunan, toleransi, dan menjamin kelancaran ibadah baik untuk Muslim maupun non-Muslim,” tegasnya.
Ia berharap, evaluasi yang saat ini digulirkan tidak hanya menjadi wacana, tetapi benar-benar menghasilkan revisi yang mampu memperkuat peran FKUB sebagai garda terdepan penjaga harmoni di Aceh.
“Kerukunan yang kita miliki saat ini adalah modal besar. Jangan sampai terkikis hanya karena kelemahan regulasi,” pungkasnya.