DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Forum Mahasiswa Aceh Dunia (FORMAD) menyatakan penolakan keras terhadap Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil yakni Pulau Mangkir Besar (Mangkir Gadang), Pulau Mangkir Kecil (Mangkir Ketek), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang sebagai bagian dari wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
FORMAD menilai keputusan ini sebagai langkah gegabah pemerintah pusat yang berpotensi menyulut keresahan dan ketegangan antarwilayah, sekaligus mencederai semangat perdamaian yang telah dibangun pasca-konflik melalui perjanjian damai Helsinki tahun 2005.
“Empat pulau tersebut memiliki nilai strategis dan simbolik yang tak terpisahkan dari sejarah dan identitas Aceh,” ujar Hafiz Ma’ruf Akbar, Ketua Umum FORMAD, kepada Dialeksis.com, Sabtu, 14 Juni 2025.
FORMAD mengecam keras bahwa penetapan wilayah tersebut dilakukan secara sepihak tanpa konsultasi maupun pelibatan aktif Pemerintah Aceh, DPRA, dan masyarakat Aceh Singkil sebagai wilayah terdampak langsung.
Bagi mereka, hal ini menjadi preseden buruk dalam tata kelola relasi pusat dan daerah, yang seharusnya berdasarkan asas keadilan, inklusivitas, dan penghormatan terhadap otonomi daerah.
“Ini bukan sekadar masalah batas wilayah administratif, tetapi menyangkut martabat, sejarah, dan identitas orang Aceh,” tegas Hafiz.
Lebih lanjut, FORMAD mengingatkan bahwa keputusan seperti ini yang terkesan tergesa-gesa dan politis--bukan hanya merugikan Aceh secara teritorial, tapi juga dapat memicu instabilitas sosial di wilayah perbatasan serta mencoreng komitmen negara terhadap keutuhan nasional yang dibangun dari kepercayaan, bukan paksaan.
FORMAD mendesak Presiden Republik Indonesia untuk segera mencabut Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik dalam menjaga stabilitas nasional serta martabat daerah yang selama ini menjadi bagian penting dalam sejarah Indonesia.
Selain itu, mendorong Kementerian Dalam Negeri membuka ruang dialog terbuka yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di Aceh, termasuk Pemerintah Aceh, DPR Aceh, tokoh adat dan masyarakat lokal, guna meninjau ulang secara objektif dan transparan penetapan batas wilayah administratif yang disengketakan.
Ia juga mengajak seluruh masyarakat Aceh untuk tetap bersatu dan menyuarakan aspirasi secara damai, konstitusional, dan intelektual, sebagai wujud kecintaan terhadap tanah kelahiran dan komitmen terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hafiz juga menegaskan bahwa pembangunan nasional yang sejati tidak hanya diukur dari banyaknya beton dan infrastruktur yang dibangun, tetapi juga dari keberanian pemerintah dalam mengoreksi kebijakan yang keliru dan berpotensi meminggirkan wilayah-wilayah dengan sejarah panjang perjuangan.
“Indonesia yang adil bukan hanya dibangun melalui beton dan infrastruktur, tetapi juga lewat keberanian untuk mengoreksi kebijakan yang mengancam keadilan wilayah dan ketenteraman sosial,” ujar Hafiz.
Menurutnya, saat ini saatnya pemerintah pusat menunjukkan kebesaran jiwa dengan menghentikan segala bentuk upaya sistematis yang bisa memicu konflik horizontal, utamanya antara masyarakat Aceh dan Sumatera Utara, yang telah lama hidup berdampingan dalam damai dan saling menghormati.
FORMAD mengingatkan bahwa Aceh adalah bagian penting dari perjalanan bangsa ini. Dengan sejarah panjang perjuangan, luka konflik, hingga kontribusi besar terhadap perdamaian nasional, suara Aceh tidak layak untuk diabaikan begitu saja oleh kekuasaan administratif.
“Sudah saatnya suara Aceh kembali didengar dengan penuh hormat dan penghargaan,” pungkas Hafiz.