Senin, 08 Desember 2025
Beranda / Berita / Aceh / Indonesia Tak Boleh Jadi “Bencana” bagi Aceh

Indonesia Tak Boleh Jadi “Bencana” bagi Aceh

Senin, 08 Desember 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Esais dan peneliti sejarah, Bisma Yadhi Putra. Foto; for Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Aceh - Bencana banjir besar Aceh 2025 yang melanda wilayah pesisir, pedalaman, hingga dataran tinggi, memunculkan kembali perdebatan tentang lambannya penanganan pemerintah pusat. Kritik paling tajam datang dari esais dan peneliti sejarah, Bisma Yadhi Putra, yang menilai kegagalan membaca skala bencana dapat memicu retaknya kepercayaan masyarakat terhadap negara.

Dalam komentarnya kepada Dialeksis, Bisma menegaskan bahwa banjir Aceh 2025 bukan sekadar bencana alam, tetapi juga ujian kesanggupan negara hadir saat rakyatnya berada di titik paling rapuh.

“Tsunami 2004 menghancurkan ribuan rumah dan melenyapkan ratusan kampung di kawasan pesisir. Tapi banjir 2025 menghantam jauh lebih luas pesisir, pedalaman, sampai dataran tinggi. Lokasi berbeda, penderitaannya sama. Mayat-mayat ditemukan di bukit maupun di pinggir laut.” ujarnya.

Menurutnya, cakupan kehancuran banjir 2025 melampaui tsunami bukan dalam jumlah korban jiwa, tetapi dalam sebaran wilayah terdampak serta kompleksitas krisis kemanusiaan yang muncul setelahnya.

Bisma menilai bahwa satu minggu pasca-bencana, tanda-tanda keterlambatan penanganan terlihat jelas.

“Kelaparan belum tertangani sepenuhnya. Kampung-kampung di pedalaman masih terisolasi, dan warganya tercekik rasa lapar siang-malam.” katanya.

Ia menyoroti kontras antara realitas lapangan dengan pernyataan pejabat di Jawa yang menyatakan pemerintah sanggup menangani seluruh dampak bencana.

“Setelah pernyataan optimistis diumbar, fakta di lapangan menunjukkan orang Aceh masih merebus sisa air banjir untuk diminum. Bagaimana mungkin situasi seperti ini belum dianggap layak sebagai ‘bencana nasional’?” tambahnya.

Menurut Bisma, kegagalan untuk menetapkan status tersebut membawa implikasi sosial dan politik yang serius.

Dalam analisis sejarahnya, Bisma mengingatkan bahwa respons negara yang tidak memadai dapat menumbuhkan rasa keterasingan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat.

“Kalau pemerintah tetap berkeras hati, orang bisa mulai percaya bahwa Indonesialah yang sebetulnya menjadi bencana bagi Aceh. Dan ketika Indonesia dianggap bencana, tentu Indonesia akan ditolak. Tidak ada yang ingin hidup bersama bencana.”

Ia merujuk pada sebuah peristiwa sejarah yang jarang diangkat publik terjadi saat banjir besar Aceh pada 1953. Saat itu Presiden Sukarno berkunjung ke Aceh beberapa minggu setelah banjir surut. Bagi sebagian warga, kehadiran tersebut justru memperburuk suasana karena dinilai tidak memberi solusi nyata.

“Spanduk-spanduk berisi kemarahan warga Aceh terhadap Sukarno waktu itu bukan sekadar luapan emosi, tetapi tanda renggangnya hubungan rakyat dan negara. Dan kita tahu apa yang terjadi pada September 1953.” ungkap Bisma, merujuk pada meletusnya pemberontakan DI/TII Aceh.

Sebagai peneliti sejarah, Bisma menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto masih memiliki waktu untuk tidak mengulang kesalahan masa lalu.

“Presiden Prabowo tidak harus seperti Sukarno. Masih ada waktu membuat keputusan yang menjadikan Indonesia tetap terasa sebagai berkah bagi Aceh, bukan sebaliknya.”

Ia menekankan bahwa langkah paling mendesak ialah memastikan seluruh wilayah terdampak terutama daerah terisolasi mendapatkan akses makanan, air bersih, layanan kesehatan, serta infrastruktur darurat tanpa menunggu kebijakan berbelit-belit.

“Keputusan cepat yang memprioritaskan kemanusiaan akan menentukan apakah Aceh merasa dipeluk Indonesia atau justru ditinggalkan.” tegasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI