DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Penunjukan Indra Milwady sebagai Dewan Pengawas (Dewas) Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Banda Aceh kembali menjadi sorotan publik.
Akademisi Universitas Syiah Kuala, Dr. Nasrul Zaman, S.IP., M.Si, menyoroti tidak adanya rekam jejak Indra di bidang kesehatan atau manajemen pelayanan medis.
"Apa relevansinya dengan rumah sakit? Tidak ada. Ini kan posisi pengawas. Harusnya orang yang paham bagaimana rumah sakit berjalan, bukan orang yang hanya paham bagaimana kekuasaan berjalan, dia harus dicopt itu disana," ujar Nasrul Zaman dalam sebuah wawancara siniar di kanal YouTube Shalehabdullah yang tayang medio Juli 2025 dilansir media dialeksis.com.
Dalam siniar berdurasi 28 menit tersebut, Nasrul Zaman mengatakan kasus penempatan Indra hanyalah satu dari sekian banyak contoh krisis meritokrasi di Aceh.
“Kita menghadapi satu situasi di mana posisi-posisi publik diberikan bukan karena prestasi atau keahlian, tapi karena kedekatan dengan penguasa,” ujarnya.
Ia menilai bahwa praktik seperti ini justru melemahkan institusi publik karena menciptakan budaya asal bapak senang.
"Apa hasil nyata Dewas selama periode itu? Apakah ada perbaikan sistem layanan, penataan manajemen, atau transparansi keuangan? Setahu saya tidak signifikan,” katanya.
Nasrul menambahkan bahwa ketika Dewas rumah sakit hanya menjadi perpanjangan tangan politik, maka yang dikorbankan bukan hanya profesionalisme, tapi juga kesehatan warga kota.
“Rumah sakit itu menyangkut nyawa orang banyak. Kalau pengawasnya tidak kapabel, lalu siapa yang mengontrol kualitas layanan dan integritas pengelolaan anggaran?” lanjutnya.
Nasrul juga menyinggung sejumlah keluhan warga terkait layanan RS Meuraxa pada masa itu. Ia menyebut adanya penurunan kepuasan pasien dan keluhan tenaga medis yang merasa kebijakan internal rumah sakit terlalu dikendalikan oleh pertimbangan non-profesional.
“Namun ia mengakui bahwa belum banyak studi akademik atau data terbuka yang memverifikasi dugaan penurunan kinerja tersebut. Ini PR kita semua. Tapi sebagai akademisi, saya berhak bertanya, dan publik berhak tahu,” katanya.
Nasrul Zaman mendorong pentingnya reformasi tata kelola kepegawaian di tingkat pemerintah daerah. Ia menyarankan agar pengangkatan Dewas, direksi BUMD, hingga kepala dinas dilakukan melalui proses seleksi terbuka yang diawasi publik.
“Transparansi dan akuntabilitas harus jadi landasan. Kalau tidak, birokrasi kita hanya akan jadi tempat barter kekuasaan yang tak pernah selesai,” ucapnya.
Ia juga berharap agar masyarakat lebih kritis dalam membaca penempatan pejabat publik. “Bukan soal siapa yang duduk di kursi itu, tapi kenapa dia duduk di sana. Kalau karena keahlian, mari kita dukung,” pungkas Nasrul. [nh]