Beranda / Berita / Aceh / Kebebasan Berekspresi Lagi Diuji, Penggiat Sosmed Aceh: Saya Tak Yakin Pemerintah Berani

Kebebasan Berekspresi Lagi Diuji, Penggiat Sosmed Aceh: Saya Tak Yakin Pemerintah Berani

Rabu, 13 April 2022 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : akhyar

Penggiat media sosial Aceh Syakya Meirizal. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah pusat akan mengenakan denda bagi penyelenggara platform digital seperti media sosial jika tak segera menghapus konten yang dianggap bermasalah. 

Pengaturan ini tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak di Kementerian Komunikasi.

Dikabarkan, skema denda yang didesak pemerintah ke penyedia platform media ialah menghapus konten yang dianggap bermasalah atau membayar denda administratif. Besaran denda administratif untuk platform media kisaran Rp500 juta hingga Rp1,5 miliar.

Akan tetapi, aturan yang akan digodok itu dianggap bisa menggergaji kebebasan berekspresi dan ditentang oleh berbagai kalangan masyarakat. Karena klasifikasi konten-konten yang mendesak dihapus masih dianggap bersayap.

Penggiat media sosial Aceh Syakya Meirizal mengaku yakin jika pemerintah tak akan berani mengeluarkan peraturan yang betul-betul mengekang kebebasan berekspresi, atau kebebasan menyampaikan sikap, seperti mengkritik kebijakan pemerintah dan sebagainya.

Syakya menduga jika pemerintah hanya akan fokus merancang aturan pada batasan-batasan kebebasan yang tidak mengandung pornografi, menyerang SARA, menyerang sosok individual, dan fitnah.

“Saya tidak yakin pemerintah akan berani mengeluarkan peraturan yang betul-betul mengekang kebebasan berekspresi yang sifatnya masih dalam koridor hak konstitusi warga negara,” ujar Syakya kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Rabu (13/4/2022).

Sejauh ini, kata Syakya, platform sosmed dengan kebijakannya juga sudah menjalankan fungsi pengawasan terhadap konten yang diupload para pengguna. 

Contohnya, Facebook. Ketika ada konten yang mengarah pada provokasi, mengarah kepada adu domba, maka postingan tersebut akan dihilangkan dari beranda dengan adanya notifikasi “Postingan Anda Melanggar Ketentuan Kami.”

Syakya pada awal-awalnya mengaku pernah kejadian seperti itu. Namun, setelah akunnya verified, sudah jarang postingannya dihilangkan dari Facebook.

Apalagi, kata dia, platform media sosial juga menyediakan sistem “report.” Dimana para pengguna suatu medsos bisa melaporkan konten-konten yang menyimpang.

Di sisi yang lain, aturan PP yang sedang digodok oleh pemerintah dikhawatirkan terjadi semacam intervensi dari pemerintah untuk meminta platform sosmed menghapus konten tertentu. 

Menurut Syakya, jika seandainya ada permintaan dari pemerintah kepada penyelenggara media yang mengarah kepada pembungkaman hak demokrasi warga, para penyelenggara media ini juga tidak secara serta merta bisa menghapus konten. Kalau tidak ada pelanggaran pada konten tersebut, maka platform media ini bisa saja digugat ke pengadilan.

Berdasarkan informasi yang diterima Syakya, aturan PP ini akan keluar pada bulan Juni ini. Bila di dalam aturan tersebut memuat ketentuan yang memangkas hak-hak konstitusi warga, Syakya dengan tegas akan ikut menolak aturan tersebut.

“Kalau melanggar hak warga, saya mungkin sebagai seorang perwakilan dari Aceh yang akan ikut menggugat aturan tersebut kalau pemerintah betul-betul mencabut hak demokrasi warga, hak kebebasan berpendapat,” tegasnya.

Sembari menunggu rancangan aturan PP ini keluar, Syakya menegaskan akan terus mengawal hingga produk hukum yang diciptakan tidak menimbulkan mudharat hingga mengangkangi kebebasan-kebebasan yang sudah terjamin untuk warga NKRI. Syakya juga mengimbau ke masyarakat Aceh yang juga pengguna sosmed untuk tidak khawatir secara berlebihan. 

Menurut Syakya, platform media sosial hari ini sudah menjadi instrumen utama penegakan demokrasi di Indonesia. Saat instrumen lain tidak berjalan, media sosial bisa mengungkap tabir dari berbagai skandal di lingkungan kekuasaan, rezim dan sebagainya.

“Ketika instrumen media mainstream, seperti media pemberitaan dan sebagainya tidak berfungsi, sering sekali media sosial yang menjadi penggerak bagi demokrasi warga,” tutup Syakya yang juga Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh.(Akhyar)

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda