Jum`at, 05 September 2025
Beranda / Berita / Aceh / Kekerasan di Pesantren Bireuen, Antropolog Sebut Penyalahgunaan Relasi Kuasa

Kekerasan di Pesantren Bireuen, Antropolog Sebut Penyalahgunaan Relasi Kuasa

Rabu, 03 September 2025 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Antropolog sekaligus dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, Dr. Muhajir Al Fairusy, MA. Foto: Doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Meulaboh - Kasus penganiayaan terhadap seorang santri berusia 14 tahun berinisial MDL di salah satu pondok pesantren terpadu di Matang Geulumpangdua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, kembali menguak persoalan laten di dunia pendidikan agama.

Antropolog sekaligus dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, Dr. Muhajir Al Fairusy, MA, menilai insiden ini bukan sekadar kasus individual. 

“Kekerasan di pesantren terjadi karena penyalahgunaan wewenang dan relasi kuasa,” kata Muhajir saat dimintai tanggapan, Selasa (2/9).

Menurut Muhajir, sistem senioritas yang melekat dalam tradisi pesantren kerap memberi ruang bagi praktik intimidasi. “Relasi kuasa yang timpang memungkinkan senior memanfaatkan statusnya untuk menekan bahkan melakukan kekerasan terhadap junior,” ujarnya.

Ia menambahkan, fenomena itu semakin subur karena prinsip kepatuhan total atau sami’na wa atho’na sering dimanipulasi. 

“Santri terbiasa taat tanpa bertanya. Ketika prinsip ini disalahgunakan, ia menjadi alat legitimasi kekerasan,” kata Muhajir.

Selain itu, Muhajir menyoroti lemahnya regulasi dan pengawasan di banyak pesantren. Ketiadaan kontrol dari pimpinan membuat tindak kekerasan berlangsung tanpa konsekuensi jelas. 

“Ini krisis pengawasan. Petinggi pesantren lemah dalam memantau relasi sosial antarsantri,” ujarnya.

Faktor lain yang turut menyuburkan kekerasan, kata Muhajir, adalah rendahnya kesadaran inklusivitas. Pesantren, menurutnya, seharusnya menjadi ruang pembelajaran yang menekankan kesetaraan. 

“Kurangnya penghormatan terhadap keberagaman membuat praktik diskriminasi dan kekerasan mudah terjadi,” kata dia.

Lebih jauh, Muhajir menyebut kasus semacam ini sebagai indikasi degradasi moral di lingkungan pesantren. 

“Padahal pesantren diharapkan menjadi pusat pembentukan akhlak. Jika justru melahirkan kekerasan, ada yang salah dalam sistem pembinaannya,” ujarnya.

Muhajir menekankan perlunya langkah komprehensif untuk mencegah berulangnya kasus serupa. Ia menyarankan pembentukan regulasi internal yang jelas, peningkatan pengawasan, penanaman kesadaran kesetaraan, serta mekanisme disiplin yang transparan.

“Materi agama saja tidak cukup. Pesantren harus berani mereformasi sistemnya, agar benar-benar menjadi ruang pembentukan manusia berakhlak dan bermoral,” tutup alumni dayah dan Universitas Gadjah Mada ini. 

Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
damai -esdm
bpka