Rabu, 18 Juni 2025
Beranda / Berita / Aceh / Ketua GP Al-Washliyah Aceh Barat Desak Revisi UUPA Masuk Prolegnas DPR-RI

Ketua GP Al-Washliyah Aceh Barat Desak Revisi UUPA Masuk Prolegnas DPR-RI

Selasa, 17 Juni 2025 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Pimpinan Daerah Generasi Muda Al Jam'iyatul Washliyah (PD GP Al-Washliyah) Kabupaten Aceh Barat, Muhammad Fawazul Alwi. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Meulaboh - Ketua Pimpinan Daerah Generasi Muda Al Jam'iyatul Washliyah (PD GP Al-Washliyah) Kabupaten Aceh Barat, Muhammad Fawazul Alwi, menyampaikan pernyataan tegas tentang pentingnya menjaga kedaulatan, keadilan, dan semangat perdamaian di Aceh.

Fawazul menyoroti sejumlah persoalan krusial yang masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat, meskipun kabar baik tentang kembalinya empat pulau sengketa ke wilayah Aceh baru-baru ini telah menguatkan semangat rakyat.

“Alhamdulillah masih ada rasa menjunjung tinggi persatuan dan keadilan di negeri ini, saya kira ini patut dijaga selalu supaya kedaulatan Aceh tetap terjaga,” ujar Fawazul kepada Dialeksis.com, Selasa (17/6/2025).

Menyambung euforia atas pengembalian empat pulau Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang yang sebelumnya sempat dimasukkan ke dalam wilayah Sumatera Utara, Fawazul mengingatkan seluruh elemen masyarakat Aceh untuk tidak lengah. Menurutnya, perjuangan belum berakhir.

“Empat pulau Aceh sudah kembali, tapi kita jangan lengah. Masih banyak problem dan permasalahan di Aceh yang harus diperjuangkan kepada Pemerintah Pusat,” tegas Fawazul.

Salah satu isu paling mendesak, lanjutnya, adalah perjuangan untuk merevisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) agar lebih sesuai dengan semangat MoU Helsinki yang menjadi fondasi perdamaian Aceh sejak 2005.

Ia menggarisbawahi pentingnya memasukkan revisi UU PA ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI.

Revisi UU PA harus kita perjuangkan bersama supaya dapat dimasukkan ke dalam Prolegnas DPR-RI, karena itu mencakup seluruh hal yang berkaitan dengan kedaulatan, keistimewaan, dan kekhususan Aceh yang sesuai dengan kesepakatan MoU Helsinki,” ujar tokoh muda Aceh.

Fawazul juga menyuarakan aspirasi yang menurutnya kerap tenggelam: penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Aceh.

Ia mengingatkan bahwa masih banyak keluarga korban konflik, terutama anak-anak yatim dan para janda, yang belum mendapat keadilan maupun pengakuan yang layak dari negara.

“Saya mewakili aspirasi suara tangis korban konflik yang tak terdengar, meminta kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat untuk segera menuntaskan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Aceh. Banyak sekali anak-anak yatim dan janda korban yang bertebaran karena konflik Aceh masa lalu. Kita semua sepakat Aceh berdamai, bukan kalah, apalagi menyerah. Kita tidak boleh lupakan seluruh luka dan darah yang tercecer selama konflik Aceh,” katanya.

Di tengah semangat menjaga perdamaian, Fawazul juga menyoroti kebijakan Pemerintah Pusat yang dinilai mengancam kestabilan psikologis masyarakat Aceh, yakni rencana penambahan empat batalyon TNI di provinsi tersebut. Ia dengan tegas menolaknya.

“Saya juga meminta supaya Pemerintah Pusat membatalkan penambahan 4 batalyon TNI di Aceh, karena itu bisa menjadi kisruh di kemudian hari ketika MoU Helsinki yang telah disepakati itu dicoreng oleh kebijakan-kebijakan yang bersifat sentralistis,” ujarnya.

Menurutnya, tindakan itu bukan hanya mencederai perjanjian damai, tetapi juga memperkuat rasa curiga dan ketidakpercayaan rakyat terhadap komitmen pemerintah pusat.

Selain itu, kata Fawazul, yang harus diperjuangkan oleh pemerintah Aceh adalah Tanah Blang Padang harus kembali menjadi Milik Wakaf Masjid Baiturrahman dan segera mengembalikan status kepemilikan dan pengelolaan tanah Blang Padang kepada pemilik yang sah nazir waqaf pengurus Masjid Raya Baiturrahman.

Fawazul mengajak semua pihak untuk menempatkan Aceh secara terhormat dalam bingkai Republik Indonesia. Baginya, MoU Helsinki bukanlah sekadar dokumen mati, melainkan ruh perdamaian yang harus dijaga dan dihidupkan dalam kebijakan-kebijakan nyata.

“Pemerintah Pusat hargailah Aceh yang selalu berkomitmen penuh dan menjaga janji perdamaian. Jangan selalu rakyat Aceh ini merasa ditipu, dikelabui, dan direndahkan. MoU Helsinki jangan hanya menjadi tinta yang kering di atas selembar kertas, tetapi menjadi ruh dan alat untuk menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa yang bersejarah dan bersanding dengan seluruh daerah otonomi dan negara bagian skala dunia,” tutur Fawazul.

Fawazul juga menegaskan bahwa semangat yang dibangun bukanlah permusuhan, tetapi rekonsiliasi bermartabat.

“Aceh ini sesuai dengan slogannya, yaitu 'Bangsa Teuleubeh'. Dan Aceh pun tidak pernah ada lagi rasa permusuhan dan curiga dengan Republik Indonesia. Alias sama-sama enak,” tutupnya.[nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
dpra