Jum`at, 10 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Ketua IPI Aceh: Referensi Adalah Kunci Keabsahan Tulisan dan Cerminan Integritas Penulis

Ketua IPI Aceh: Referensi Adalah Kunci Keabsahan Tulisan dan Cerminan Integritas Penulis

Kamis, 09 Oktober 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Pengurus Daerah (PD) Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Provinsi Aceh periode 2025–2028, Nazaruddin Musa, dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Kepenulisan Berbasis Konten Budaya Lokal Tahun 2025 bertema Menulis untuk Melestarikan Budaya, Berkarya untuk Negeri, yang digelar oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Aceh Besar di Jantho, Kamis (9/10/2025). [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Jantho - Sebuah tulisan tidak akan memiliki reputasi tanpa landasan referensi yang sahih.

Pesan itu disampaikan oleh Ketua Pengurus Daerah (PD) Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Provinsi Aceh periode 2025-2028, Nazaruddin Musa, dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Kepenulisan Berbasis Konten Budaya Lokal Tahun 2025 bertema “Menulis untuk Melestarikan Budaya, Berkarya untuk Negeri”, yang digelar oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Aceh Besar di Jantho, Kamis (9/10/2025).

Sebagai seorang akademisi dan pustakawan senior yang mengajar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Nazaruddin dikenal luas di kalangan profesi kepustakawanan Indonesia. Ia memiliki kepakaran dalam bidang manajemen media perpustakaan dan literasi digital, serta aktif menggerakkan semangat menulis berbasis sumber yang valid.

Dalam paparannya, Nazaruddin menekankan pentingnya referensi dalam setiap karya tulis. Ia menyebut bahwa kekuatan utama dari sebuah tulisan bukan hanya terletak pada gaya bahasa, tetapi pada keabsahan sumber yang mendukung argumen penulis.

“Reputasi sebuah tulisan sangat bergantung pada keabsahannya. Salah satu bentuk keabsahan itu adalah referensi,” ujarnya di hadapan para peserta bimtek.yang dihadiri media dialeksis.com.

Menurutnya, setiap penulis memiliki tanggung jawab ilmiah dan moral untuk tidak asal menulis tanpa dasar. Referensi menjadi bukti bahwa apa yang ditulis bukanlah karangan semata, melainkan berangkat dari penelitian dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.

“Ini membuktikan bahwa apa yang kita sampaikan bukan karangan, tapi berdasarkan fakta, termasuk referensi yang ditulis oleh pendahulu-pendahulu kita,” tambahnya.

Sebagai contoh, ia menyinggung topik tentang Sie Reuboh salah satu elemen dalam budaya Aceh. Dalam menulis tentang hal tersebut, penulis tidak boleh sekadar berasumsi, tetapi wajib mengutip hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

“Misalnya tentang Sie Reuboh, kita tidak boleh mengarang sendiri. Harus ada referensi yang menjelaskan kapan pertama kali ditemukan, di mana, dan oleh siapa. Dengan begitu, kita menyajikan informasi yang valid kepada pembaca,” terang Nazaruddin.

Dalam sesi berikutnya, Nazaruddin juga memperkenalkan Mendeley, sebuah perangkat lunak manajemen referensi yang kini banyak digunakan di dunia akademik.

Menurutnya, Mendeley menjadi pilihan utama bagi penulis dan peneliti karena memiliki keunggulan dalam hal kemudahan akses dan fleksibilitas penggunaan.

“Mendeley itu gratis, praktis, dan tidak perlu berlangganan. Bisa digunakan baik secara online maupun offline,” jelasnya.

Ia menambahkan, dengan menggunakan Mendeley, penulis tidak hanya dimudahkan dalam menyusun daftar pustaka, tetapi juga bisa mengatur kutipan dengan rapi sesuai standar akademik. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas tulisan dan menjaga etika penulisan ilmiah.

Menanggapi kondisi literasi di Aceh, Nazaruddin mengakui bahwa tingkat literasi masyarakat masih relatif rendah. Namun, ia juga menilai sudah mulai terlihat adanya kepedulian pemerintah daerah terhadap peningkatan budaya membaca dan menulis.

“Saya baru saja pulang dari Meulaboh, lalu hari ini di Aceh Besar, besok ke Bireuen. Dari beberapa kegiatan yang saya ikuti, sudah tampak adanya kepedulian pemerintah terhadap peningkatan literasi,” ungkapnya.

Menurut Nazaruddin, gerakan literasi tidak bisa berjalan sendiri. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, pustakawan, dan media massa untuk membangun ekosistem literasi yang berkelanjutan di Aceh.

“Peningkatan literasi ini harus menjadi gerakan bersama. Pemerintah menyediakan fasilitas, akademisi memberi pengetahuan, dan media menyebarluaskan hasilnya,” ujarnya.

Dalam refleksi akhirnya, Nazaruddin menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya kembali pada ajaran dasar Islam yang menempatkan perintah membaca sebagai wahyu pertama.

“Bagi saya, setelah mengamati banyak hal, kita ini bangsa yang mulai kehilangan konsep. Padahal Iqra’ membaca adalah ajaran paling awal, tapi hari ini justru yang paling jarang kita lakukan,” katanya.

Ia menyebutkan bahwa semangat back to Iqra’ harus menjadi gerakan moral bersama untuk mengembalikan kejayaan peradaban Aceh yang pernah tumbuh melalui ilmu pengetahuan, sastra, dan budaya tulis.

Back to Iqra’ berarti kembali ke konsep dasar bahwa membaca adalah sumber keberuntungan. Dari membaca lahirlah pengetahuan, dari pengetahuan tumbuh peradaban,” tutup Nazaruddin. [nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bank aceh