Senin, 23 Juni 2025
Beranda / Berita / Aceh / Kewajiban Siapa Menyajikan Dokumen Asli 4 Pulau di Aceh?

Kewajiban Siapa Menyajikan Dokumen Asli 4 Pulau di Aceh?

Minggu, 22 Juni 2025 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Aryos Nivada, pengamat politik dan keamanan. Foto: dok pribadi


DIALEKSIS.COM| Banda Aceh - Aryos Nivada, pengamat politik dan keamanan memberikan penjelasan seputar adanya pernyataan anggota DPRA yang menyebutkan dokuman asli pemerintah Aceh tidak tersedia, tentang 4 pulau yang disengketakan. Benarkah?

Anggota DPRA dari wilayah pemilihan IX Aceh, Hadi Surya menyebutkan pentingnya pembenahan sistem pengarsipan dokumen strategis pemerintah. Menurutnya, ketidaktersediaan dokumen asli perjanjian batas wilayah tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara menjadi salah satu penyebab sengketa administratif tersebut.

“Sebagai pelajaran penting, kita harus membenahi tata kelola dokumen strategis. Dari yang saya pelajari, polemik ini berakar dari ketidakmampuan pihak terkait menunjukkan dokumen asli perjanjian tersebut. Bahkan dalam berbagai forum resmi, yang ditampilkan hanya fotokopi, sementara dokumen asli tidak pernah benar-benar disampaikan,” jelas Hadi.

Pernyatan Hadi ini ditanggapi serius oleh Aryos Nivada, pengamat politik dan keamanan, menyebutkan, pemerintah Aceh memiliki dokumen lengkap tentang 4 pulau yang diributkan dan akhirnya dikembali ke Aceh.

Menurut Aryos dalam keterangannya, Minggu (22/06/2025), pertama apresiasi dan terimakasih kepada bapak Presiden dan bapak Gubernur, serta seluruh elemen masyarakat atas penyelesaian permasalahan ke 4 Pulau tersebut menjadi milik Aceh. 

“Namun perlu ada klarifikasi terhadap informasi yang berkembang supaya sejarah tidak salah mencatatnya,” sebut Aryos.

Karena menurut Aryos, ada yang mengatakan bahwa penyebab kisruh 4 pulau karena tidak disampaikan dokumen asli dalam beberapa rapat resmi. Sebenarnya penyebab awal karena kekeliruan konfirmasi koordinat pulau tahun 2009, namun itupun sudah direvisi oleh Pemerintah Aceh pada tahun 2018. 

“Penyebab utamanya adalah karena keluarnya kepmendagri tahun 2022 yang kontroversial. Ini perlu kita jelaskan sedikit supaya tidak keliru penulisan sejarah kedepan, bahwa pada tanggal 7 Feb 2022 dilaksanakan rapat terkait permasalahan status wilayah administrasi 4 pulau,” jelasnya.

Dalam rapat tersebut tim Pemerintah Aceh telah menyampaikan berbagai argumentasi terkait revisi terhadap kekeliruan konfirmasi koordinat 4 pulau dan dokumen-dokumen kesepakatan serta dokumen administrasi seperti kepemilikan tanah dan lain lain.

Namun tim Kemendagri mengatakan rapat ini hanya bersifat dengar pendapat saja, tanpa ada notulensi dan berita acara rapat. Tim Pemerintah Aceh pada waktu itu merasa kecewa terhadap pernyataan yang disampaikan tim Kemendagri. 

Namun selanjutnya justru pada tanggal 14 Februari 2022 Kemendagri mengeluarkan Kepmendagri yang memasukkan 4 pulau tersebut kedalam wilayah Sumut. Klausul ini menjadi salah satu alasan keberatan dalam somasi yang dilayangkan Pemerintah Aceh pada tanggal 20 April 2022. Ini kami kutip dari beberapa sumber informasi sebelumnya.

Menurut Aryos, pada 3 Juni 2022 di Pulau Panjang, Pemerintah Aceh menyampaikan dokumen kepemilikan 4 pulau termasuk kesepakatan tahun 1992, yang diterima pejabat Kemendagri dan disaksikan Bupati Aceh Singkil dan unsur Forkopimda Aceh Singkil pada waktu itu. Ini ada foto dokumentasi yang beredar di media.

Selanjutnya dalam rapat 20 Juni 2022 yang difasilitasi Kemendagri dan dihadiri pejabat K/L terkait serta pejabat kedua provinsi dan kabupaten. Dalam rapat tersebut Tim Pemerintah Aceh menyampaikan dokumen fotokopi lengkap termasuk peta lampiran kesepakatan bersama antara Gub Aceh (Ibrahim Hasan) dengan Gub Sumut (Raja Inal Siregar) yang disaksikan Mendagri (Rudini) pada tahun 1992, dan fotokopi Kepmendagri Nomor 111 tahun 1992. 

Dalam rapat tersebut Kemendagri menyampaikan akan mempelajari seluruh dokumen dan data yang disampaikan serta usulan-usulan kedua belah pihak. Dan Kemendagri akan memutuskan penyelesaian permasalahan berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Rapat terakhir dilaksanakan pada 21 juli 2022 yang difasiltasi Kemenkopolhukam, dihadiri pejabat K/L terkait beserta kedua prov & kab. Rapat tersebut tidak ada berita acara dan notulensi, dimana Pemerintah Aceh tidak menerimanya.

Namun tim Pemerintah Aceh mencatat mayoritas peserta rapat menyatakan bahwa kesepakatan bersama tahun 1992 menjadi acuan dalam penetapan 4 pulau tersebut. Sedangkan tim Kemendagri menyampaikan bahwa segera akan melaporkan hasil autentikasi dokumen dan verifikasi faktual kepada Mendagri untuk penetapan kebijakan lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan. Ini kami baca dari bahan yang pernah disampaikan Tim Pemerintah Aceh beberapa waktu yang lalu.

“Kalau kita liat beberapa kali dinamika rapat dan kesimpulannya, semestinya Kemendagri tidak melakukan lagi kekeliruan pertama setelah menetapkan Kepmendagri tanggal 14 Februari 2022,” jelas Aryos.

Namun justru pada bulan November 2022 Kemendagri menetapkan lagi Kepmendagri serupa. 

Kemudian diikuti lagi dengan kekeliruan yang ketiga kalinya pada bulan April 2025 dengan menetapkan lagi Kepmendagri tersebut. Semestinya kalau masih dalam proses pencarian dokumen asli, sedangkan dari tim pemprov Sumut tidak dokumen lain yang membantah dokumen tim Aceh, Kemendagri lebih bijak untuk menahan diri tidak menetapkan yang kontradiktif dengan dokumen yang katanya sedang autentikasi.

“Selanjutnya menjadi pertanyaan siapa yang mempunyai kewajiban melengkapi dokumen asli terhadap kesepakatan bersama Gubernur Aceh (Ibrahim Hasan) dengan Gubernur Sumut (Raja Inal Siregar) yang disaksikan Mendagri (Rudini) tahun 1992 beserta lampiran petanya,” tanya Aryos.

“Kalau sebuah kesepakatan normalnya instansi yang menandatangani, dalam persoalan ini bisa dari Pemerintah Aceh, Pemprov Sumut dan Kemendagri sendiri,” sebutnya.

Namun penelusuran dari tim Aceh belum ditemukan dokumen asli tersebut. Terhadap hal tim Pem Aceh memberikan argumentasi antara lain : Dokumen dari Pemerintah Aceh yang asli termasuk Kesepakatan 1992 tidak dapat ditunjukkan lagi akibat overmacht (tsunami). Overmacht dapat menghapuskan kewajiban.

Namun pembuktian dapat dilakukan dengan bukti, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah (Pasal 1866 KUHPerdata). Lebih lanjut Kesepakatan 1992 juga ditindaklanjuti dengan kesepakatan 2002 antara tim penegasan batas daerah (PBD) Aceh dengan tim PBD Sumut yang disaksikan Tim PBD Pusat.

Yaitu dengan pemasangan pilar batas acuan di pulau Panjang, dan sejalan dengan dgn bukti dokumen sebelumnya yaitu surat Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Aceh tahun 1965, Ipeda Tapaktuan tahun 1974, dan lainya.

“Maka sekali lagi kewajiban dalam membuktikan dokumen asli tidak di Pemerintah Aceh. Nah dibaru- baru ini, ditemukan dokumen asli Kepmendagri Nomor 111 tahun 1992, sedangkan foto kopinya sudah pernah disampaikan oleh Pemerintah Aceh pada Juni 2022,” sebut Aryos.

Dalam Kepmendagri pada klausul memperhatikan disebutkan mengacu pada peta topografi TNI AD tahun 1978 dan kesepakatan bersama 1992, artinya memperkuat informasi dan dokumen yang sudah ada sebelumnya. Kembali lagi menjelaskan bahwa kewajiban dokumen asli tidak berada pada Pemerintah Aceh, sebutnya. karena sebuah Keputusan suatu institusi biasanya disimpan diinstitusi tersebut.

“Dari beberapa penjelasan di atas kami ingin menyampaikan bahwa pernyataan bahwa polemik ini berakar dari ketidakmampuan pihak terkait menunjukkan dokumen asli perjanjian tersebut, perlu diluruskan” jelasnya.

Bahkan dalam berbagai forum resmi, yang ditampilkan hanya fotokopi, sementara dokumen asli tidak pernah benar-benar disampaikan, penjelasan ini belum lengkap bila hanya disebutkan sepengal-pengal, tanpa benar benar mengikuti proses sejak awal, karena informasi ini dapat menghilangkan fakta sejarah, jelas Aryos pengamat politik dan keamanan ini.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
dpra