Beranda / Berita / Aceh / Koalisi Masyarakat Sipil: Pemerintah Harus Menjamin Penyelamatan Pengungsi Rohingya yang Masuk Perairan Indonesia

Koalisi Masyarakat Sipil: Pemerintah Harus Menjamin Penyelamatan Pengungsi Rohingya yang Masuk Perairan Indonesia

Kamis, 26 Oktober 2023 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Pengungsi etnis Rohingya berada di atas kapal milik nelayan Indonesia di pesisir Pantai Seunuddon, Aceh Utara (24/6/2020). [Foto: AP Photo/Zik Maulana]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari SUAKA, KontraS Aceh, JRS, dan Amnesty International Indonesia yang concern isu pengungsi dan pencari suaka di Indonesia mendesak pemerintah Indonesia untuk menghargai hak-hak pengungsi berdasarkan hukum, baik lokal, nasional dan internasional. 

Desakan ini dilandasi dari tindakan Pemerintah kota Lhokseumawe dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) yang mencegah masuknya pengungsi etnis Rohingya ke perairan Indonesia.

TNI AL dan Pemko Lhokseumawe melakukan patroli terpadu pada 19 Oktober 2023 yang menanggapi kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh pada 16 Oktober 2023 sebanyak 36 orang di perairan Bireuen. Patroli dilakukan sebagai bentuk antisipasi kedatangan lain dari pengungsi Rohingya di wilayah Provinsi Aceh.

Pemko Lhokseumawe mengaku telah menerima informasi akan kemungkinan kedatangan kapal Rohingya lain ke perairan Aceh. Tindakan dilakukan TNI AL dengan justifikasi menghindari adanya kemungkinan kejahatan seperti pengedaran narkotika hingga pukat harimau di perairan Lhokseumawe. Tindakan ini tidak sesuai dengan komitmen pemerintah terhadap hukum internasional terkait pemenuhan hak asasi manusia yakni pengungsi.

Patroli yang dilakukan juga untuk mendapatkan informasi dari nelayan sekaligus mengimbau untuk memastikan penangkapan ikan dengan kapal besar sesuai standar yang diberikan. Pemko Lhokseumawe menyatakan bahwa terdapat beberapa kejadian dimana pengungsi yang telah dimasukkan dalam rumah pengungsian kemudian hilang tanpa keterangan jelas.

Sebagaimana diketahui, pengungsi Rohingya merupakan pengungsi dunia yang mencari perlindungan dan keselamatan dan saat ini berstatus stateless sehingga pernyataan “kita akan lakukan penghalauan keluar perairan Aceh,” yang disampaikan oleh Danlanal Lhokseumawe Kolonel Laut (P) Andi Susanto, sangat tidak relevan. 

Hal ini juga dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (Perpres 125/2016) yang telah mengatur mekanisme perlindungan dan penanganan pengungsi yang teridentifikasi di wilayah Indonesia. Perpres ini memberikan semangat adanya penerimaan negara untuk adanya akses untuk mencari dan mendapatkan suaka sebagai sebuah bentuk perlindungan. Tidak ada ketentuan dalam Perpres ini untuk adanya penghalangan atau pencegahan pengungsi untuk masuk ke wilayah Indonesia. Keputusan yang diambil Pemko dan TNI AL sangat kami sayangkan karena tidak menghargai hak manusia dalam mencari suaka dan bertentangan dengan Perpres 125/2016.

Tindakan ini juga bertentangan dengan kaidah hukum dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang selama ini diimplementasikan dalam penerimaan kedatangan pengungsi Rohingya. Pertama, hukum internasional melalui pasal 98 ayat (1) The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang menyatakan bahwa adanya kewajiban negara untuk memberikan asistensi dan melakukan penyelamatan terhadap setiap orang yang terancam hilang di laut.

Kedua, pada bab dua annex International Convention on Maritime and Search Rescue (Konvensi SAR), khususnya pada paragraf 2.1.1, negara memiliki kewajiban untuk membuat mekanisme penyelamatan dan segera memberikan bantuan kepada kapal yang sedang dalam keadaan darurat. Penting untuk dicatat bahwa Indonesia telah meratifikasi dan mengesahkan kedua Konvensi ini, sehingga kewajiban negara terhadap isi-isi Konvensi ini mengikat secara hukum.

Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap orang untuk mencari suaka di negara lain untuk menghindari persekusi. Pemerintah dan pihak berwenang Indonesia sudah sepatutnya memahami bahwa apabila pengungsi Rohingya yang sedang dalam kesulitan di laut tidak diselamatkan, maka hal ini tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip non-refoulement, yaitu prinsip dari hukum kebiasaan internasional yang melarang negara untuk menolak atau mengusir pengungsi ke negara asal atau wilayah lainnya di mana mereka akan dihadapkan dengan bahaya yang tidak dapat dipulihkan (irreparable harm).

Selain itu, masyarakat dan nelayan Aceh telah lama mengakui adanya hukum adat untuk memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami keadaan darurat di laut. Sehingga, operasi pengamanan dan pencegahan kedatangan pengungsi Rohingya bukan hanya tidak sesuai dengan hukum internasional, namun juga dengan kaidah-kaidah adat laut yang telah ada sejak dahulu serta eksis hingga kini.

Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk memberhentikan patroli laut dan melaksanakan mekanisme penyelamatan dan penanganan sesuai Perpres 125/2016, hukum internasional, dan hukum adat Aceh jika kembali ditemukan kapal pengungsi Rohingya. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda