Jum`at, 24 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Komunitas Merah Mata Fishing Kampanye Stop Penangkapan Ikan Destruktif di Laut Aceh

Komunitas Merah Mata Fishing Kampanye Stop Penangkapan Ikan Destruktif di Laut Aceh

Kamis, 23 Oktober 2025 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Komunitas Merah Mata Fishing (MMF), Ridho Hamdiki. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di tengah maraknya praktik penangkapan ikan yang merusak ekosistem laut Aceh, sebuah komunitas mancing bernama Merah Mata Fishing (MMF) tampil berbeda. 

Tidak hanya menyalurkan hobi di atas perahu, komunitas ini juga aktif melakukan kegiatan sosial seperti sedekah rutin kepada anak yatim dan kampanye kesadaran lingkungan laut.

Ketua MMF, Ridho Hamdiki, mengatakan komunitas ini berdiri sejak tahun 2020 dan beranggotakan lintas profesi mulai dari anggota TNI, Polri, pejabat pemerintah, karyawan perusahaan, hingga masyarakat sipil. Semuanya dipersatukan oleh satu semangat, mancing untuk silaturahmi dan kepedulian sosial.

“Bagi kami, memancing bukan sekadar hobi, tapi sarana mempererat ukhuwah dan mengingatkan diri bahwa laut bukan hanya tempat mencari ikan, melainkan juga sumber kehidupan yang harus dijaga,” ujar Ridho Hamdiki saat ditemui media dialeksis.com di Warkop Sirnagalih di Banda Aceh, Kamis (23/10/2025).

Kegiatan sosial menjadi napas utama MMF. Setiap kali menggelar trip mancing bersama, para anggota selalu menyisihkan sebagian rezeki untuk sedekah anak yatim dan fakir miskin. 

Bahkan, menurut Ridho, sebagian hasil lelang ikan tangkapan komunitas juga disumbangkan untuk kegiatan amal dan bantuan musibah.

“Kami ingin komunitas ini bukan hanya dikenal karena hasil pancingannya, tapi juga karena manfaat sosialnya. Kami ingin menunjukkan bahwa pecinta laut juga bisa berbuat baik untuk sesama,” tambahnya.

Selain sedekah, MMF kerap menggelar kegiatan bersih-bersih pantai. Tujuannya, menumbuhkan kesadaran generasi muda agar lebih mencintai dan menjaga laut Aceh.

Aceh dikenal memiliki garis pantai yang panjang dan kekayaan laut melimpah. Namun, di balik keindahan itu, ancaman kerusakan ekosistem kian nyata. 

Penggunaan pukat harimau, bom ikan, dan alat kompresor ilegal masih terjadi di sejumlah wilayah pesisir seperti Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Barat Daya.

Kerusakan terumbu karang dan berkurangnya populasi ikan karang menjadi dampak paling nyata dari praktik destruktif ini. Akibatnya, bukan hanya nelayan tradisional yang merugi, komunitas pemancing rekreasi pun kehilangan kesempatan untuk menikmati keindahan dan tantangan laut yang alami.

“Kami sangat prihatin. Beberapa spot favorit kami di kawasan Sabang dan Ujong Pancu kini mulai sepi ikan. Padahal dulu lautnya sangat hidup. Ini bukti nyata kerusakan yang terjadi,” ungkap Ridho.

Meski awalnya sekadar komunitas hobi, MMF kini mulai tampil sebagai penggerak konservasi laut, mereka ikut menyuarakan pentingnya penegakan hukum terhadap pelaku penangkapan ikan ilegal dan edukasi nelayan kecil agar tidak tergoda memakai alat tangkap berbahaya.

“Kami siap menjadi mitra pemerintah dalam edukasi masyarakat. Nelayan yang sadar lingkungan bukan hanya menjaga laut, tapi juga menjaga rezekinya sendiri,” jelas Ridho.

Menurutnya, komunitas mancing punya potensi besar menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat pesisir. Dengan pendekatan nonformal, para pemancing bisa menyampaikan pesan kelestarian laut secara santai namun efektif.

MMF berharap pemerintah Aceh tidak hanya fokus pada pengawasan, tapi juga memberikan dukungan fasilitas dan regulasi bagi nelayan kecil agar dapat beralih ke alat tangkap ramah lingkungan. 

Selain itu, diperlukan juga zona konservasi mancing di titik-titik strategis sebagai bentuk pelestarian sumber daya ikan.

“Kalau laut rusak, yang rugi bukan cuma nelayan. Pemancing juga kehilangan ruang rekreasi, wisata bahari mati, dan ekonomi pesisir ikut terpuruk. Karena itu, kami ingin semua pihak bergerak bersama,” tegas Ridho.

Kini, MMF bukan sekadar komunitas pemancing, tetapi telah menjelma menjadi wadah solidaritas sosial dan kepedulian lingkungan. 

Melalui semangat dari laut untuk masyarakat, mereka ingin menanamkan nilai bahwa setiap umpan yang dilempar ke laut harus diimbangi dengan rasa tanggung jawab untuk menjaga kehidupan di dalamnya.

“Kami ingin MMF menjadi contoh bahwa hobi bisa membawa manfaat besar, baik untuk alam maupun untuk manusia. Laut itu amanah, bukan warisan untuk dihabiskan,” tutup Ridho.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI