Beranda / Berita / Aceh / KontraS: Pelanggaran HAM Berbasis SDA Jadi Pemicu Konflik di Aceh

KontraS: Pelanggaran HAM Berbasis SDA Jadi Pemicu Konflik di Aceh

Jum`at, 12 Maret 2021 19:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar
[Foto: Akhyar/Dialeksis]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh melakukan analisis khusus terkait peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di sektor Sumber Daya Alam (SDA) saat masa konflik silam. KontraS Aceh melakukan riset untuk mendapatkan pola umum bagaimana peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi.

Ketua KontraS Aceh, Hendra Saputra mengungkapkan, kekerasan berbasis SDA merupakan bagian dari rangkaian pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Dari tergerusnya sendi kehidupan masyarakat saat itu, tersingkap eksploitasi SDA yang menyertakan peran militer di dalamnya.

“Eksploitasi SDA tanpa dibarengi distribusi yang adil antara Aceh dan Pemerintah Indonesia bisa memicu protes dari berbagai kalangan, baik dari kemunculan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) maupun aspirasi masyarakat yang diwakili LSM, mahasiswa hingga akademisi,” jelas Hendra saat menjadi pembicara di diskusi umum di Cafe Kopi Darat, Ulee Kareng, Banda Aceh, Jumat (12/3/2021).

Ia melanjutkan, penelitian itu dilakukan di daerah Aceh Tamiang dan Aceh Timur dengan melakukan wawancara secara langsung dengan orang-orang yang terlibat. Ia mengungkapkan, di Aceh Tamiang terdapat 16 korban dan di Aceh Timur ada 9 korban.

Pola kekerasan yang terjadi, kata Hendra, dengan melakukan perampasan lahan, penyiksaan, penangkapan dan penahanan dengan sewenang-wenang, pembunuhan hingga pengusiran paksa.

Dampak yang ditimbulkan, sambung Hendra, secara ekonomi masyarakat Aceh kehilangan lahan untuk berkebun, kehilangan sumber penghidupan, kehilangan tempat tinggal karena rumah dibakar, dan lahannya dibiarkan begitu saja karena ketakutan.

Secara fisik dan psikis, jelas Hendra, masyarakat Aceh dari dampak kekerasan ini mengalami trauma yang begitu mendalam hingga ada yang sakit-sakitan.

Kemudian, sambung Hendra, dampak yang ditimbulkan secara sosial ialah, masyarakat tidak berani berhadapan dengan perusahaan, tidak percaya lagi kepada aparat dan perusahaan, ketakutan karena dicap atau dianggap Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)/Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bahkan dicap sebagai suku pendatang, hingga ada masyarakat Aceh yang meninggalkan kampung halamannya dan berpindah ke tempat yang baru.

Dari hasil penelitian KontraS itu, jelas Hendra, motif atau alasan perampasan lahan dan SDA menunjukkan niat jelas pihak penguasa negara untuk menguasai sumber-sumber kehidupan dan penghidupan masyarakat Aceh.

“Kemudian, perampasan lahan Sumber Daya Alam adalah dalam rangka menutup akses serta untuk menghalangi gerakan GPK dan GAM,” tutup Hendra.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Evi Narti Zein mengatakan, hasil penelitian yang disodorkan KontraS Aceh menjadi tantangan tersendiri bagi KKR Aceh.

Evi mengatakan, KKR Aceh untuk saat ini belum bisa menyinggung isu-isu yang berhubungan dengan SDA karena membutuhkan sumber daya yang besar.

Temuan KontraS Aceh tersebut, sebut Evi, menjadi trigger (pemicu) untuk langkah dimensi yang akan diambil ke depan.

Apalagi, kata dia, KRR Aceh baru membangun struktur bagaimana mendengarkan cerita korban dalam konteks pengambilan pernyataan. Namun, sambung Evi, untuk ke depan KKR Aceh akan mengekspansi bagaimana caranya menyentuh nilai-nilai dari sektor lain.

Ia menjelaskan, metode-metode seperti penyiksaan, pengusiran, ambil paksa lahan memang dari dulu hingga sekarang sudah digunakan.

“Kalau kita baca literatur dan penelitian-penelitian, akar konflik menyebutkan pada masalah Sumber Daya Alam. Tapi apa korelasinya sumber daya alam dengan pelanggaran HAM masyarakat Aceh jaman dulu sampai hari ini. Ini yang perlu kita cari benang merahnya,” jelas Evi.

Ia mengungkapkan, dalam periode ini, KKR Aceh belum bisa memfokuskan pada isu pelanggaran HAM dalam sektor Sumber Daya Alam, tetapi akan mereka tampung untuk periode yang akan mendatang.

“Mungkin KKR Aceh belum bisa memfokuskan pada isu pelanggaran HAM dalam sektor SDA, tetapi ini sangat bagus dalam memberikan trigger (pemicu) untuk komisi ini untuk bekerja lima tahun ke depan pada isu-isu yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam,” pungkas Evi.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda