DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Antrean kendaraan mengular di banyak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Banda Aceh dan sejumlah kabupaten/kota lainnya masih terus terjadi setelah bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh dalam sepekan terakhir. Warga memburu Pertalite, Pertamax, hingga Biosolar yang pasokannya tidak stabil.
Pengamat kebijakan publik Aceh, Usman Lamreung menyebut klaim Pertamina yang menyebut distribusi BBM di Aceh aman dan terkendali tersebut tidak realistis dan bertolak belakang dengan kondisi nyata di lapangan.
“Pertamina Tidak Serius Menangani Distribusi BBM di Aceh," ujarnya kepada media dialeksis.com, Senin (1/12/2025)
Menurut Usman, antrean panjang di SPBU membuktikan secara jelas bahwa distribusi BBM tidak berjalan normal. Klaim aman justru dianggap sebagai bentuk pengelabuan publik.
“Ketika masyarakat menyaksikan langsung antrean panjang dan keterlambatan pasokan, narasi ‘aman’ dari Pertamina menjadi kontraproduktif. Itu meruntuhkan kepercayaan publik terhadap kesiapan pelayanan energi,” tegas Usman Lamreung.
Usman menilai persoalan sebenarnya tidak terletak pada ketersediaan stok di terminal BBM, tetapi pada kegagalan manajemen distribusi di tingkat operasional.
“Masalah utamanya ada pada distribusi. Ketidakteraturan suplai, kelambatan armada tangki, dan minimnya cadangan di SPBU menunjukkan Pertamina gagal memastikan alur distribusi yang lancar dari hulu ke hilir,” ujarnya.
Ia menilai bahwa dalam situasi darurat seperti banjir dan kemacetan logistik, diperlukan sistem distribusi yang adaptif dan berbasis skenario kontingensi. Namun, hingga kini Pertamina dinilai tidak memberikan penjelasan teknis yang memadai mengenai strategi penanganan kondisi luar biasa tersebut.
Selain buruknya manajemen distribusi, Usman menyoroti absennya transparansi data sebagai faktor pemicu keresahan publik.
“Pertamina tidak membuka informasi tentang jumlah pasokan per SPBU, jadwal pendistribusian, maupun langkah kontingensi saat terjadi lonjakan permintaan. Ketertutupan informasi ini memberi kesan bahwa Pertamina lebih sibuk dengan pencitraan daripada pelayanan publik,” katanya.
Menurutnya, sebagai badan usaha yang memonopoli pendistribusian BBM, Pertamina memiliki kewajiban moral untuk menyampaikan data secara terbuka sebagai bentuk akuntabilitas.
“Klaim ‘aman’ tanpa bukti bukan hanya menyesatkan, tetapi mencerminkan kegagalan struktural dalam tata kelola energi di Aceh,” tambahnya.
Usman mendesak Pemerintah Aceh tidak tinggal diam dan mengambil peran aktif untuk memastikan hak energi masyarakat terpenuhi.
“Pemerintah daerah harus turun melakukan verifikasi lapangan, meminta audit distribusi, dan menuntut langkah konkrit perbaikan dari Pertamina,” tegas Usman.
Jika tidak ada langkah serius, ia khawatir masyarakat Aceh akan terus menghadapi krisis panjang yang menghambat aktivitas ekonomi, pendidikan, dan mobilitas harian.
“Aceh tidak butuh pernyataan menenangkan, tetapi solusi konkret. Jika tidak segera dibenahi, krisis distribusi BBM akan menjadi ancaman sosial yang lebih besar,” tutupnya. [nh]