Sabtu, 20 Desember 2025
Beranda / Berita / Aceh / Krisis Listrik Pascabencana, Pegiat Muda Barsela Desak Aceh Beralih ke Energi Terbarukan

Krisis Listrik Pascabencana, Pegiat Muda Barsela Desak Aceh Beralih ke Energi Terbarukan

Sabtu, 20 Desember 2025 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Pegiat Muda Barat Selatan Aceh (Barsela), Angga Putra Arianto. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pegiat Muda Barat Selatan Aceh (Barsela), Angga Putra Arianto, menilai kondisi listrik di Aceh yang padam berhari-hari hingga hampir satu bulan pasca bencana menandakan persoalan struktural dalam tata kelola energi di Aceh yang hingga kini masih sangat bergantung pada daerah lain.

Pemadaman listrik pascabencana ini menandakan bahwa Aceh belum mandiri energi. Sistem kelistrikan kita masih bergantung pada luar daerah, sehingga sangat rentan ketika terjadi bencana,” ujar Angga kepada wartawan dialeksis.com, Sabtu (20/12/2025).

Angga mendesak Pemerintah Aceh, khususnya Gubernur Aceh, agar segera mengambil langkah strategis melalui kebijakan yang bersifat mengikat dan berkelanjutan.

“Salah satu solusi konkret adalah Gubernur Aceh harus menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) atau bahkan Qanun Transisi Energi Aceh,” tegasnya.

Menurutnya, regulasi tersebut harus mengatur peta jalan pemanfaatan energi terbarukan di Aceh, mulai dari pemberian insentif pengembangan panel surya, energi air, angin, hingga biomassa, serta penguatan infrastruktur kelistrikan agar Aceh tidak lagi bergantung pada Pangkalan Brandan.

“Tanpa kebijakan yang kuat dan jelas, Aceh akan terus berada dalam lingkaran krisis yang sama setiap kali bencana terjadi. Lagi-lagi masyarakat yang menanggung dampaknya,” tambah Angga.

Ia menjelaskan, selama ini aliran listrik Aceh tidak sepenuhnya dikelola secara mandiri. Energi listrik dari Aceh harus dialirkan terlebih dahulu ke Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, sebelum kemudian disalurkan kembali ke Aceh.

Kondisi ini terjadi karena pusat penguatan tegangan tinggi atau extra high voltage hanya tersedia di Pangkalan Brandan, sementara Aceh belum memiliki infrastruktur serupa.

“Ketika terjadi gangguan di jalur transmisi, baik akibat bencana di Aceh maupun di wilayah Sumatera Utara dan Sumatera Barat, dampaknya langsung dirasakan hampir di seluruh Aceh. Inilah yang membuat masyarakat selalu menjadi korban,” katanya.

Pemadaman listrik yang terjadi hampir merata dalam beberapa hari terakhir telah mengganggu berbagai sektor kehidupan masyarakat.

Layanan kesehatan, aktivitas pendidikan, hingga roda perekonomian masyarakat ikut terdampak. Di sejumlah daerah, warga harus bertahan dalam kondisi pascabencana yang serba terbatas tanpa dukungan listrik yang memadai.

Menurut Angga, krisis ini seharusnya menjadi momentum refleksi bagi semua pihak, khususnya Pemerintah Aceh, untuk serius membangun kemandirian energi yang selama ini hanya menjadi wacana.

“Setiap kali bencana datang, kita selalu menghadapi masalah yang sama. Ini menunjukkan tidak ada pembenahan mendasar dalam sistem energi kita,” ujarnya.

Padahal, Aceh memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dan tersebar hampir di seluruh wilayah. Sinar matahari yang melimpah, sungai dan aliran air, potensi angin di wilayah pesisir, hingga biomassa dari sektor pertanian dan kehutanan merupakan modal besar untuk membangun sistem energi yang mandiri dan berkelanjutan.

“Energi terbarukan seharusnya menjadi solusi jangka panjang. Aceh kaya sumber daya alam, tapi ironisnya justru masih bergantung pada energi fosil dan jaringan listrik luar daerah,” ujarnya.

Angga menekankan bahwa transisi energi bukan hanya soal kemandirian listrik, tetapi juga bagian dari upaya mitigasi bencana. Ia menilai ketergantungan pada energi fosil serta eksploitasi lingkungan yang berlebihan turut berkontribusi terhadap meningkatnya bencana banjir dan longsor yang kini kerap melanda Aceh.

“Transisi energi menuju energi terbarukan adalah solusi untuk dua masalah sekaligus: krisis listrik dan krisis lingkungan. Ini bukan lagi wacana, tapi kebutuhan mendesak,” tegasnya.

Ia mengatakan bahwa Aceh tidak kekurangan sumber daya alam maupun potensi energi bersih. Yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian politik untuk mengambil keputusan besar demi masa depan Aceh yang lebih mandiri dan berkelanjutan.

“Jika tidak ada perubahan kebijakan hari ini, krisis listrik akan terus berulang. Aceh tidak kekurangan potensi, yang kurang adalah keberanian untuk beralih ke energi yang lebih berkelanjutan,” pungkas Angga. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
pema