DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tokoh muda agama di Aceh, Ustaz Masrul Aidi, menyampaikan kegelisahan mendalam terhadap kondisi sosial umat di Aceh saat ini.
Menurutnya, fenomena pergaulan bebas, pelanggaran syariat, hingga lemahnya pengawasan terhadap generasi muda telah menjadi persoalan serius yang tidak bisa hanya dijawab dengan fatwa, tetapi harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret.
“Dengan segala carut-marut problematika umat sekarang ini, saya ingin bertanya, apa saran yang sudah diberikan lembaga-lembaga istimewa Aceh kepada pemerintah? Fatwa sudah banyak, tapi implementasinya di lapangan hampir tidak terasa,” tegas Ustaz Masrul kepada media dialeksis.com, Minggu (21/9/2025).
Ia menyoroti fenomena pergaulan bebas yang kian terang-terangan di kalangan anak muda, khususnya usia pelajar. Cara berboncengan antara siswa-siswi, katanya, sudah melewati batas kewajaran.
“Kadang kita melihat seolah-olah mereka sudah seperti pasangan suami istri. Ini fakta di jalanan, tapi apakah Majelis Pendidikan Aceh pernah memberi saran kepada pemerintah untuk menanggulangi hal ini?” ujarnya.
Salah satu langkah sederhana, menurut Ustaz Masrul, adalah melarang anak sekolah mengendarai sepeda motor sendiri. Sebagai gantinya, mereka bisa menggunakan angkutan umum atau diantar oleh orang tua, sebagaimana tradisi sekolah di masa lalu.
“Kalau anak-anak kita dibiarkan bebas berkendara sendiri, tanpa pengawasan, maka pintu menuju perilaku menyimpang akan semakin terbuka lebar,” tambahnya.
Masrul juga menyinggung lemahnya aturan terkait cara berpakaian orang tua yang mengantar anak-anak ke sekolah. Ia menilai, sekolah harus berani bersikap tegas terhadap wali murid yang datang dengan pakaian tidak pantas.
“Kalau ada orang tua yang mengantar anaknya ke sekolah dengan pakaian yang tidak sesuai syariat, jangan izinkan anak itu masuk. Sekolah bukan hanya tempat belajar ilmu umum, tapi juga tempat pendidikan akhlak dan syariat,” katanya.
Selain itu, Ustaz Masrul mendorong Majelis Adat Aceh (MAA) agar memberi masukan serius kepada pemerintah terkait jam malam bagi anak-anak usia sekolah.
Ia menilai, sudah seharusnya ada aturan yang jelas agar mereka tidak berkeliaran di luar rumah setelah jam tertentu, kecuali bersama keluarga.
“Kalau dibiarkan bebas, malam hari akan menjadi ruang bagi mereka melakukan hal-hal yang merusak diri. Ini bisa dicegah bila ada regulasi yang tegas,” jelasnya.
Tak hanya soal anak, Ustaz Masrul juga menyoroti gaya hidup pegawai negeri yang menurutnya sering jauh dari teladan syariat. Ia mengusulkan agar jam kerja pegawai di kantor dipersingkat, misalnya hanya sampai pukul dua siang.
“Dengan begitu, mereka bisa pulang, makan siang bersama keluarga, bahkan nongkrong di warung kopi sebelum malam tiba. Bukankah itu akan lebih baik daripada hidup terpisah dari keluarga dan mengabaikan kontrol terhadap anak-anak?” ujarnya.
Ustaz Masrul juga mendesak Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) agar tidak hanya mengeluarkan fatwa, tetapi memberi tekanan kepada pemerintah untuk mengeksekusi aturan-aturan yang sudah ada.
"Yang kita butuhkan bukan fatwa baru, tapi cara bagaimana mengeksekusi fatwa yang sudah ditulis oleh ulama terdahulu. Jangan sampai MPU hanya menjadi pabrik fatwa, tanpa keberanian menuntut pemerintah bertindak,” tegasnya.
Ustaz Masrul Aidi menegaskan bahwa perbaikan Aceh hanya akan terjadi jika lembaga istimewa, pemerintah, ulama, dan masyarakat berjalan bersama.
"Kalau hanya berhenti pada fatwa atau regulasi di atas kertas, maka Aceh akan terus tenggelam dalam problem sosial. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian mengeksekusi aturan, menegakkan syariat, dan memberikan teladan nyata,” pungkasnya. [nh]