Beranda / Berita / Aceh / Membaca Relasi Kandidat Gubernur Aceh di Pilpres 2024

Membaca Relasi Kandidat Gubernur Aceh di Pilpres 2024

Minggu, 07 Mei 2023 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Dosen Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala (USK) Aryos Nivada. [Foto: Ist]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mencermati kontestasi pemilu Presiden tahun 2024 mendatang, tentunya para kandidat presiden yang mengemuka selama ini memiliki basis konstituen masing-masing hingga di level provinsi dan kabupaten/kota.

Menurut Dosen Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala (USK) Aryos Nivada, tahapan Pilpres dan Pilkada serentak 2024 dipastikan kedepan akan beririsan. Otomatis nantinya dalam tahapan Pilpres dan Pilkada, polarisasi tidak hanya terjadi di skala nasional, namun juga merambat kedaerah. Para kandidat kepala daerah, terutama di level provinsi diprediksi juga akan melakukan hubungan politik relasi simbiosis mutualisme.

"Bentuk nyata dari polarisasi akan ada relasi saling menguntungkan di masing-masing kandidat, dimana calon kepala daerah harus memiliki relasi dengan calon presiden tersebut guna memaksimalkan kemenangan baik untuk kepentingan Pilkada maupun Pilpres," kata Aryos kepada Dialeksis.com, Minggu (7/5/2023).

Pengamat Politik Keamanan itu menjelaskan, dalam konteks ini bila dibaca dalam logika politik rasional, tentu perlu dicermati agar diketahui bagaimana sosok yang muncul di level provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki relasi dan sikap politik untuk mendukung calon Presiden.

Dalam konteks Aceh kandidat yang muncul antara lain terbagi ke dua cluster. Pertama petinggi partai politik antara lain; Muzakir Manaf (Ketua Umum Partai Aceh), Teuku Riefky Harsya (Sekjen DPP Demokrat), Aminullah Usman (Ketua DPC PAN Banda Aceh), Amiruddin Idris (Ketua DPD PPP Aceh), T. M. Nurlif (ketua DPD Golkar Aceh), Fadhullah (Ketua DPD Gerindra Aceh), Irwandi Yusuf (Ketua Umum PNA) dan Nasir Djamil (Partai Keadilan Sejahtera). Semua kandidat memiliki posisi strategis sebagai ketua maupun sekrtaris, hanya Nasir Djamil sebagai elit partai, tapi partainya sudah deklarasikan dirinya sebagai calon dari partainya, yakni Partai Keadilan Sejahtera.

Kluster berikutnya, sosok diluar partai politik, antara lain Nezar Patria (professional), Abdullah Puteh (politikus DPD), Prof Herman Fithra (Rektor Unimal/akademisi), dan Sudirman (Haji Uma) kalangan seniman. Keempat nama itu termonitor dalam rekam jejak media sebagai pilihan alternatif diluar cluster pertama berasal dari elit politik murni.

Menariknya, bagi Pendiri Jaringan Survei Inisiatif (JSI) itu, semua nama-nama kandidat kepala daerah di Aceh yang beredar saat ini, umumnya hanya memiliki relasi dan kaitan dengan Anies Baswedan dan Prabowo Subianto. Hal paling mudah terlihat dari partai-partai di belakang kandidat yang mencuat selama ini.

"Anehnya, belum ada satupun dari nama yang mencuat memiliki relasi langsung dengan Ganjar Pranowo selaku Kandidat Pilpres dari PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2019," ungkapnya.

Menurutnya, meski dari nama-nama yang beredar ada yang berasal dari kalangan luar parpol dan dinilai memiliki hubungan spesial dengan pemerintah pusat, faktanya kandidat luar parpol tersebut memang tidak memiliki kaitan dengan Ganjar, alih alih elektabilitasnya minim di mata publik Aceh.

"Situasi ini tentunya dilematis bagi Aceh, bila kandidat kepala daerah yang bertarung hanya memilliki afilasi dengan Anies dan Prabowo, maka andai kata Ganjar memenangkan Pilpres 2024, maka tidak ada satupun kandidat di Aceh yang memiliki relasi politik dengan presiden terpilih," jelasnya.

Hal lain yang perlu dipahami, kata Aryos, penting calon kepala daerah selayaknya memiliki relasi dengan calon presiden secara merata. Hal ini penting untuk kerja kerja taktis pemenangan dalam menyusun strategi berkolaborasi sehingga memunculkan daya efek yang berpengaruh dalam mencapai tujuan politik.

Berdasarkan pembahasan di atas, Direktur Eksekutif Lingkar Sindikasi Grub ini melihat tampak jelas bahwa terdapat kekosongan kubu Ganjar di Aceh dalam konteks kandidat yang selama ini muncul menjadi kepala daerah di Aceh. Hal ini menyebabkan tidak linearnya kerja-kerja politik kedepan antara calon kepala daerah di Aceh dan calon presiden di tingkat nasional.

"Tentunya ini harus menjadi pertimbangan serius bagi calon kepala daerah di Aceh agar mempertimbangkan kalkulasi politik sebelum terjun dalam kancah Pilkada," pungkasnya.

Idealnya, kata Aryos, kandidat di kepala daerah Aceh nantinya harus mempertimbangkan untuk melakukan kerja sama politik tidak hanya Capres yang populer di Aceh seperti Anies dan Prabowo, namun selayaknya Capres alternatif seperti Ganjar Pranowo. [nor]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda