Minggu, 13 Juli 2025
Beranda / Berita / Aceh / Memorial Rumoh Geudong Diresmikan, KontraS Aceh: Korban Harus Terlibat dan Diberi Hak

Memorial Rumoh Geudong Diresmikan, KontraS Aceh: Korban Harus Terlibat dan Diberi Hak

Jum`at, 11 Juli 2025 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Koordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra resmi membuka Memorial Living Park Rumoh Geudong di Desa Bili, Kecamatan Geulumpang Tiga, Pidie, Kamis (10/7/2025).

Lokasi ini merupakan bekas tempat penyiksaan dan pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh yang menjadi simbol gelap dari konflik berkepanjangan di daerah tersebut.

Meski peresmian ini disambut sebagai langkah penting dalam mengenang korban pelanggaran HAM, Azharul Husna, Koordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, mengingatkan bahwa memorialisasi semata tidak boleh menjadi akhir dari proses penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh.

“Peresmian memorial park Rumoh Geudong ini harus dilihat bukan sebagai seremoni penanda selesai, tapi justru sebagai pengingat bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat di Aceh masih jauh dari tuntas,” ujar Azharul kepada Dialeksis.com, Jumat (11/7/2025).

Ia menambahkan bahwa memorialisasi tanpa keadilan hanya akan menambah luka baru bagi para korban dan keluarga mereka.

Azharul menekankan bahwa pemerintah tidak boleh berhenti hanya dengan mendirikan memorial dan memberikan tali asih atau bantuan uang sebesar Rp10 juta kepada korban.

 “Pemberian tali asih itu hanya bagian kecil dari proses pemulihan yang jauh lebih besar. Pemerintah harus memastikan bahwa memorialisasi ini terhubung dengan langkah konkret lainnya seperti pemenuhan hak korban, layanan pemulihan, jaminan non-impunitas, serta akses korban terhadap kebenaran sejarah yang utuh," ujarnya.

Menurut Azharul Husna, upaya pemulihan harus bersifat menyeluruh dan berkelanjutan, bukan sekadar simbolis.

"Jangan sampai pemberian tali asih atau bantuan uang itu memutus atau menggugurkan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan ketidakberulangan pelanggaran,” katanya.

Lebih jauh, Azharul Husna mengingatkan bahwa Rumoh Geudong hanyalah satu dari ratusan pos penyiksaan (pos sattis) di Aceh yang hingga kini belum tersentuh proses hukum dan memorialisasi.

“Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menuntaskan semua pelanggaran ini. Jangan lupa juga untuk memastikan rekomendasi dari Panel Pemeriksaan Hak Asasi Manusia (PPHAM) dijalankan secara konsisten,” ujarnya.

Isu yang paling mendesak, menurut Azharul, adalah tindak lanjut atas penemuan tulang belulang manusia di area Rumoh Geudong.

Temuan ini bukan hanya masalah memorial, tetapi bukti kejahatan kemanusiaan yang harus diproses secara yudisial.

 “Negara wajib memastikan proses hukum berjalan sampai ke meja pengadilan dan membuka kebenaran secara terang-terangan. Jangan sampai proses ini terhenti dan memperpanjang budaya impunitas di Aceh,” tegasnya.

Azharul Husna juga menyerukan agar korban diberikan kejelasan setelah proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

 “Mereka harus dilibatkan dan diberi informasi tentang hak-haknya serta dipastikan proses ini berjalan sesuai prinsip keadilan transisional,” tambahnya.

Jika semua ini hanya berhenti di seremoni, pemberian tali asih, dan pembangunan memorial tanpa proses hukum yang serius serta pemenuhan hak korban, Azharul Husna mengingatkan bahwa itu hanya akan menimbulkan reviktimisasi, trauma baru, dan memperpanjang impunitas di Aceh.

"Jika semua ini hanya berhenti di seremoni, tali asih, dan memorial tanpa proses hukum, tanpa pemenuhan hak korban, dan tanpa penuntasan temuan tulang belulang di Rumoh Geudong, maka yang terjadi adalah reviktimisasi, trauma baru, dan perpanjangan impunitas di Aceh," pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI