DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Warga Aceh, Mirza Ferdian, menilai tindakan pemukulan terhadap seorang petugas Servis Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) oleh pejabat publik sebagai perilaku yang mencoreng martabat kemanusiaan dan mencederai nilai-nilai kepemimpinan.
Menurut Mirza, pejabat publik memiliki tanggung jawab bukan hanya untuk memimpin, tetapi juga menjaga kehormatan manusia, terutama mereka yang sedang menjalankan amanah negara.
“Tugas pejabat publik bukan hanya soal memimpin, tapi menjaga martabat manusia. Tindakan pemukulan terhadap petugas gizi bukan hanya nir etika, tapi juga nir nurani,” ujarnya tegas di Banda Aceh, Kamis (30/10).
Mirza menjelaskan, petugas tersebut sedang menjalankan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) inisiatif Presiden Prabowo Subianto yang bertujuan memastikan anak-anak Indonesia terbebas dari kelaparan dan stunting.
“Program itu bermisi kemanusiaan. Petugasnya seharusnya didukung dan dihormati, bukan malah diperlakukan dengan kekerasan,” katanya.
Ia menyoroti bahwa pejabat publik seperti Hasan Basri yang memiliki rekam jejak panjang sebagai anggota DPRK selama tiga periode dan kini menjabat sebagai Wakil Bupati seharusnya memahami etika pemerintahan dan mampu menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin.
“Kepala daerah adalah teladan moral. Di saat ruang publik sudah gaduh, pejabat justru harus jadi pendingin suasana, bukan menambah bara dengan tindakan emosional,” tambahnya.
Mirza menegaskan, kritik adalah bagian dari tata kelola pemerintahan, tetapi tidak pernah menjadi pembenaran untuk kekerasan.
“Ruang publik terlalu berharga untuk dijadikan panggung bagi pejabat yang gagal mengendalikan diri. Bayangkan kalau korban itu adalah keluarga kita, anak kita, atau saudara kita sendiri,” ujarnya penuh empati.
Lebih lanjut, Mirza menilai insiden ini menjadi alarm bagi seluruh kepala daerah di Indonesia agar tidak melupakan esensi kemanusiaan dalam memimpin. Ia juga meminta Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh, serta Partai Amanat Nasional (PAN) mengambil langkah tegas terhadap pelaku.
“Sanksi diperlukan, bukan hanya untuk keadilan, tapi juga sebagai pembelajaran bahwa kekuasaan tidak boleh berada di atas etika dan hukum,” kata Mirza.
Ia mengingatkan, etika bukan sekadar atribut jabatan, melainkan inti dari kepemimpinan.
“Pejabat yang kehilangan etika sejatinya telah kehilangan kelayakan untuk memimpin,” tegasnya.
Dalam penutup pernyataannya, Mirza menyindir perilaku pejabat tersebut dengan nada satir.
“Publik kini bingung, apakah kita sedang melihat seorang Wakil Bupati atau petinju profesional yang lupa ring dan jadwal tanding? Dalam tinju, pukulan adalah strategi; tapi dalam pemerintahan, itu kemunduran moral,” ujarnya.
“Jabatan itu medan pelayanan, bukan arena sparring ego.”