Beranda / Berita / Aceh / Ombudsman Aceh di Mata Publik

Ombudsman Aceh di Mata Publik

Senin, 27 Mei 2019 22:29 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Masyarakat Aceh menaruh harapan pada kinerja ombudsman agar ke depanya semakin lebih baik. Sehubungan dengan apa yang sudah dilakukan ombudsman Aceh, banyak pihak memberikan keterangan ketika Dialeksis.com meminta tanggapanya. 

"Ombudsman di Aceh harus lebih fokus menindaklanjuti laporan-laporan yang disampaikan masyarakat. Kalau disebutkan ada permasalahan keterbatasan staf (ombudsman-Red), semestinya dipersiapkanlah dengan baik. Dengan wilayah kerja Aceh sekarang berapa idealnya staf yang benar-benar profesional," sebut Fuad Hadi SH MH menjawab Dialeksis.com, Senin (27/5/2019).

Direktur Eksekutif Visi Indonesia itu mengatakan, Ombudsman Aceh jangan hanya turun ke kabupaten/kota bertemu dengan pejabat setempat untuk audensi. 

"Tetapi idealnya bagaimana pemda/pemkot mengerti betul peran ombudsman. Sampai hari ini masih ada pemda/pemkot yang menggangap keberadaan ombudsman sebagai tim monitoring saja," sebutnya. 

Lain lagi yang disampaikan Zulfikar, Direktur Koalisi NGO HAM Aceh. Menurutnya, Ombudsman Aceh mendesak gubernur anggarkan dana yang cukup untuk biaya isbat nikah korban konflik. 

"Itupun karena ane sampaikan ke Pak Nova (Gubernur Aceh_red). Kasihan korban yang masih pegang buku nikah GAM, sampai sekarang anaknya tidak ada akte kelahiran, tidak bisa naik haji dan mengakses lapangan publik lainnya," sebut Zulfikar. 

Dia menambahkan, "Itu ane sampaikan bukan dalam bentuk laporan, namun secara lisan. Namun ombudsman tidak merespon, ombudsman tidak melakukan apa apa untuk ini."  

Pandangan berbeda disampaikan Direktur Rumah Sakit Zainal Abdin Dr dr Azharuddin SpOT. Menurutnya, peran kelembagaan Ombudsman Aceh sudah cukup baik, proporsional dan profesional.

"Beberapa kali ketua ombudsman sendiri melakukan cross check jika ada laporan dari masyarakat, sehingga mendapat penjelasan yang genuine dari kami pihak RS. Itu penting, kami sangat mengapresiasi hal seperti itu," jelas Azharuddin. 

Dia menegaskan, Ombudsman Aceh tidak langsung percaya dari satu sisi sumber. Kelembagaan itu bersikap cover both side. Setiap masukan atau keluhan masyarakat dinilai secara objektif dan positif. "Sehingga institusi seperti RS bisa memperbaiki diri seperlunya," sebut direktur RSZA ini.

Menurutnya, masyarakat juga sering salah atau keliru memahami suatu persoalan, karena kualitas komunikasi yang kadang masih kurang dan itu adalah tantangan dalam suatu pelayanan publik. 

"Kami menganggap ombudsman itu adalah mitra dalam melakukan kontrol, sehingga kami bisa menjalankan good government dan good governance. So far ombudsman sudah berada di jalur yang benar, kami mendukung setiap langkah yang dilakukan mereka," sebut Azharuddin.

Lain lagi pernyataan Kadis Pendidikan Aceh, Syaridin. Menurut Kadis ini, apa yang dilakukan ombudsman sudah sesuai dengan tugas dan fungsinya. 

"Namun kalau boleh kami nyumbang saran masukan. Apapun persoalan, pengaduan yang datang dari masyarakat baik secara pribadi atau kelompok, pihak ombudsman langsung meneruskan kepada intansi yang dipermasalahkan. Setelah diberi penjelasan, baru mereka memahami," sebut Syaridin.

Dia memaparkan, seharusnya surat yang disampaikan masyarakat, dianalisa dulu sebelum diteruskan kepada instansi terkait. 

"Setingkat mana yang digugat atau yang dianggap salah, atau malpraktek yang dilakukan secara administrasi diintansi tertentu."

Disdik Aceh sendiri, tukasnya, berpedoman pada fakta dan data, serta informasi yang sesungguhnya. Sejauh ini belum ada kasus Dinas Pendidikan Aceh, baru sebatas adanya laporan dari masyarakat.

"Misalnya ada laporan tentang guru terpencil yang belum dibayarkan tunjangan mereka. Namun setelah duduk bersama dan dijelaskan, bahwa tunjangan mereka belum dikirim dari pusat, bagaimana mau membayarnya, ahirnya semua bisa mengerti," jelas Syaridin.

Daerah terpencil itu, menurut Syaridin, tidak setiap tahunnya sama. Ada indikator tentang persyaratan terpencil, bila aksesnya sudah membaik, predikat terpencil itu akan hilang, otomatis daerah terpencil akan mengalami perubahan.

Namun ketika adanya surat dari ombudsman kepada Dinas Pendidikan, pihaknya diberikan waktu selama 14 hari untuk menjawab surat tersebut. Kemudian baru duduk bersama, dengan unsur terkait, untuk dilakukan croschek tentang apa yang kita sampaikan. "Alhamdulilah tidak ada persoalan," jelasnya. (Baga)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda