Kamis, 09 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Pemerintah Aceh Diminta Tegas, Media Sosial Rusak Nilai Syariat dan Moral Generasi Muda

Pemerintah Aceh Diminta Tegas, Media Sosial Rusak Nilai Syariat dan Moral Generasi Muda

Kamis, 09 Oktober 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Dosen Fakultas Hukum Universitas Abulyatama, Jummaidi Saputra. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dosen Fakultas Hukum Universitas Abulyatama, Jummaidi Saputra mengatakan fenomena degradasi moral di ruang digital kian marak di Aceh.

Perilaku maki-maki (temeunak), saling menghina, mengejek sesama, hingga munculnya berbagai konten dan permainan berbau pornografi yang beredar di media sosial kini dinilai telah mencederai nilai-nilai syariat Islam dan budaya santun masyarakat Aceh.

Padahal, Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki keistimewaan menjalankan syariat Islam secara kaffah. Namun ironisnya, ruang digital yang seharusnya menjadi wadah komunikasi positif justru kerap digunakan untuk hal-hal yang merusak moral.

“Jika kondisi ini terus dibiarkan, generasi muda Aceh akan kehilangan arah moral dan etika. Anak-anak kita akan meniru perilaku negatif yang mereka lihat di media sosial,” ujar Jummaidi Saputra, Dosen Fakultas Hukum Universitas Abulyatama sekaligus pemerhati sosial kepada media dialeksis.com pada Kamis (9/10/2025).

Menurutnya, media sosial sejatinya membawa banyak manfaat mulai dari memperluas komunikasi tanpa batas geografis, mempercepat arus informasi, menjadi sarana hiburan yang mendidik, hingga mendukung promosi bisnis dan personal branding.

 Namun fungsi positif tersebut kini justru bergeser menjadi ajang provokasi dan pencarian popularitas dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai keislaman.

“Banyak pengguna media sosial yang rela mengorbankan martabat dan adab hanya demi viral. Padahal, hal itu tidak sejalan dengan nilai-nilai ukhuwah dan kesantunan yang menjadi ciri khas masyarakat Aceh,” kata Jummaidi.

Ia menegaskan, pemerintah tidak boleh bersikap pasif menghadapi fenomena ini. Menurutnya, Pemerintah Aceh perlu segera mengambil langkah konkret dan strategis dengan membuat aturan khusus untuk mengawasi dan mengarahkan penggunaan media sosial agar tetap selaras dengan syariat Islam.

“Perlu dibentuk sistem pengawasan yang jelas dan tegas. Pemerintah harus berani hadir dengan kebijakan yang berpihak pada pelestarian moral generasi muda Aceh. Jika tidak, kita akan kehilangan arah dan identitas sebagai masyarakat bersyariat,” tegasnya.

Dari sisi hukum, lanjutnya, pengaturan perilaku di media sosial sebenarnya telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.

Kedua regulasi tersebut sudah memberikan kerangka dasar bagi perilaku bermedia sosial yang etis dan bertanggung jawab.

Namun, dalam konteks Aceh yang memiliki kekhususan hukum Islam, Dr. Jummaidi menilai perlu ada sinergi antara peraturan nasional dan prinsip-prinsip syariat.

“Dua undang-undang ini harus disinergikan dengan nilai-nilai syariat Islam agar pengawasan dan penegakan etika bermedia sosial bisa lebih efektif. Kita tidak bisa hanya bergantung pada aturan nasional, karena karakter masyarakat Aceh punya nilai religius yang khas,” ujarnya.

Selain pengawasan hukum, ia juga menekankan pentingnya edukasi digital dan penguatan literasi etika bagi masyarakat. Kesadaran bermedia sosial, katanya, tidak cukup dibangun dengan ancaman sanksi, tetapi harus tumbuh dari hati dan pemahaman nilai moral itu sendiri.

“Kesadaran etis harus dibangun sejak dini. Pemerintah, ulama, dan lembaga pendidikan perlu bersinergi memberikan pendidikan digital berbasis syariat agar masyarakat Aceh tidak kehilangan arah dalam menggunakan teknologi,” tambahnya.

Jummaidi mengingatkan bahwa Aceh semestinya menjadi contoh bagi daerah lain dalam penerapan nilai-nilai Islam, tidak hanya dalam kehidupan sosial dan pemerintahan, tetapi juga di ruang digital.

“Etika bermedia sosial adalah bagian dari tanggung jawab moral dan keislaman. Jika ruang digital kita tidak dijaga, maka pelan-pelan moral dan identitas Aceh akan terkikis. Jangan biarkan dunia maya menjadi ruang yang bebas tanpa nilai,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bank aceh