DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemuda Barat Selatan Aceh (Barsela), Edy Syahputra, meminta Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), tidak ada cuap soal empat pulau Aceh yang diputuskan menjadi milik Provinsi Sumatera Utara (Sumut) secara sepihak.
"Kami kecewa dengan sikap yang ditujukan oleh pemerintah pusat yang via Kemendagri melalui Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Syafrizal meyakini empat pulau berstatus kosong," ujar Edy kepada Dialeksis, Sabtu (14/6/2025).
Menurutnya, Kemendagri asal sebar omongan ke publik dan patut diduga ada upaya melakukan praktik penipuan terang-terangan se Indonesia Raya.
"Bahwa atas pernyataan seperti itu menurut kami sama saja hoaks karena menyatakan bahwa empat pulau yang menjadi masalah saat ini seolah-olah tanpa pemilik," jelasnya.
Menurutnya, pernyataan tersebut dinilai tidak berdasar, asal bunyi, melukai rasa keadilan masyarakat Aceh, dan mengabaikan bukti-bukti sejarah serta hukum yang ada. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) secara jelas telah mengatur batas-batas wilayah Aceh, termasuk batas lautnya.
Selain itu, jelasnya, Permendagri Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan juga secara eksplisit mencatat desa dan kecamatan di Aceh Singkil yang menjadi induk dari pulau-pulau tersebut.
"Dengan menyatakan statusnya kosong sama saja dengan meniadakan sejarah Aceh dan hukum yang berlaku di republik ini. Dan atas hal tersebut adalah bentuk pengabaian terhadap kekhususan Aceh yang diamanatkan konstitusi," jelasnya lagi.
Atas dasar itu, Edy mendesak seluruh stakheolder terkait, terutamanya Pemerintah Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), untuk segera mengambil langkah-langkah strategis dan langkah konkret akan permasalah tersebut, sehingga tidak berlarut lama.
"Kami juga menegaskan bahwa tidak ada istilah pengelolaan sumber daya bersama sebagaimana yang disampaikan gubernur provinsi tetangga," tuturnya.
Secara histori, kata Edy, pulau itu milik Aceh dan tetap milik Aceh jangan dipindah tangankan. Edy menduga ada upaya pihak-pihak tertentu untuk mengambil sejengkal per sejengkal daerah administratif Aceh (batas wilayah) yang disinyalir mempunyai potensi baik itu migas atau pariwisatanya.
"Atas hal tersebut, justru pemerintah pusat melalui tangan-tangan nakal yang haus akan kekuasaan serta dipenuhi intrik, seperti berupaya menciptakan bumbu yang memungkinkan memicu konflik ke depannya," pungkasnya.