DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Praktisi pertanian Muslahuddin Daud menilai pemulihan sektor pertanian pasca-bencana di Aceh tidak lagi cukup mengandalkan pendekatan rehabilitasi jangka pendek. Menurutnya, kerusakan lahan akibat banjir dan longsor yang berulang justru menuntut perubahan strategi menuju sistem pangan yang tangguh terhadap perubahan iklim.
Dalam policy brief yang diterima redaksi Dialeksis.com, Muslahuddin menjelaskan bahwa bencana hidrometeorologi telah merusak puluhan ribu hektare sawah, tambak, dan lahan pertanian rakyat. Dampak tersebut tidak hanya menurunkan produksi pangan untuk beberapa musim tanam, tetapi juga mengancam mata pencarian petani, stabilitas pasar, serta ketahanan pangan regional.
.Ia menyoroti bahwa respons pemerintah selama ini masih bersifat reaktif dan sektoral, dengan fokus utama pada perbaikan fisik lahan agar kembali seperti sebelum bencana. Pendekatan tersebut, kata Muslahuddin, berisiko mengulang siklus kerusakan dan rekonstruksi tanpa menyentuh akar persoalan berupa degradasi lingkungan dan meningkatnya risiko iklim.
“Pemulihan pertanian pascabencana seharusnya diposisikan sebagai agenda strategis stabilitas ekonomi dan adaptasi iklim, bukan sekadar program darurat pembangunan pedesaan,” ujar Muslahuddin dalam kajiannya
Muslahuddin mengingatkan, hilangnya lahan pertanian produktif merupakan guncangan serius dari sisi pasokan pangan. Jika tidak ditangani secara struktural, kondisi ini dapat meningkatkan ketergantungan pada pasokan eksternal, memicu lonjakan harga bahan pokok, menekan daya beli rumah tangga, serta berkontribusi pada inflasi regional dan nasional.
Sebagai solusi kebijakan, Muslahuddin mendorong agroforestri untuk diarusutamakan dalam pemulihan pertanian Aceh. Berdasarkan pengalaman lebih dari satu dekade di lapangan, sistem agroforestri dinilai mampu memadukan pemulihan ekonomi, restorasi ekologi, dan pengurangan risiko bencana secara simultan
.Agroforestri, yang mengintegrasikan pohon, tanaman pangan, dan dalam beberapa konteks ternak, terbukti meningkatkan struktur tanah, daya serap air, serta menekan risiko banjir dan longsor. Selain itu, diversifikasi komoditas juga memperkuat ketahanan ekonomi petani dari kegagalan panen dan volatilitas harga.
Namun demikian, Muslahuddin menilai agroforestri masih sering diperlakukan sebagai program percontohan berskala kecil, bukan sebagai strategi utama.
Ia menekankan perlunya keberanian kebijakan untuk menjadikan agroforestri bagian inti dari sistem pangan dan perencanaan tata guna lahan di Aceh.
Dalam policy brief tersebut, Muslahuddin mengajukan lima rekomendasi utama, mulai dari penerapan kerangka pemulihan berbasis lanskap, pengarusutamaan agroforestri dalam kebijakan nasional dan daerah, hingga perlindungan mata pencarian petani selama masa transisi. Ia juga menekankan pentingnya mobilisasi pembiayaan campuran yang melibatkan anggaran publik, pendanaan iklim, dan dukungan mitra internasional
Menurut pria pekerja sosial ini, perubahan iklim telah mengubah kesesuaian banyak wilayah untuk pertanian konvensional. Karena itu, sebagian zona rawan banjir perlu direorientasi menjadi kawasan agroforestri, daerah retensi air, atau penyangga ekologis, dengan tetap menjamin keadilan sosial bagi petani terdampak.
“Banjir di Aceh bukan hanya krisis kemanusiaan dan lingkungan, tetapi juga peluang kebijakan. Dengan beralih dari pemulihan ke transformasi, Aceh dapat membangun sistem pertanian yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan,” kata Muslahuddin
Ia menegaskan, keputusan kebijakan hari ini akan menentukan apakah Aceh terus terjebak dalam siklus krisis berulang, atau justru membangun fondasi jangka panjang bagi ketahanan pangan dan kemakmuran masyarakat pedesaan.