Kamis, 11 Desember 2025
Beranda / Berita / Aceh / Pemulihan Psikologis Penyintas Banjir Aceh Perlu Perhatian Serius

Pemulihan Psikologis Penyintas Banjir Aceh Perlu Perhatian Serius

Selasa, 09 Desember 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Mahasiswa Magister Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) asal Aceh, Ade Putri Juliati. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Bencana banjir bandang yang kembali melanda sejumlah wilayah di Sumatra, termasuk Aceh, tidak hanya menyisakan kerusakan fisik dan kerugian materiil. Lebih dari itu, bencana tersebut meninggalkan luka psikologis yang dalam bagi para penyintas.

Hal ini disampaikan oleh Mahasiswa Magister Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) asal Aceh, Ade Putri Juliati, kepada dialeksis.com, Selasa (9/12/2025).

Menurut Ade Putri, dampak psikologis pascabencana tidak boleh dipandang sebagai persoalan sekunder. Banyak penyintas banjir yang kini hidup dalam tekanan mental serius, mulai dari kecemasan, stres berkepanjangan, hingga trauma yang mengganggu aktivitas sehari-hari.

Ade menjelaskan bahwa salah satu gejala umum yang dialami masyarakat terdampak ialah ketakutan yang spontan muncul setiap kali hujan mengguyur wilayah mereka. Bagi sebagian warga, suara hujan bukan lagi pertanda kesejukan, melainkan ancaman baru.

“Banyak warga melaporkan bahwa ketika hujan turun, mereka langsung merasa takut, was-was, dan khawatir bencana serupa akan terjadi kembali,” ungkapnya.

Ketakutan ini diperparah oleh kondisi kehidupan penyintas yang kini tidak stabil. Banyak di antara mereka kehilangan rumah, harta benda, bahkan anggota keluarga. Situasi di pengungsian yang penuh keterbatasan memperbesar beban psikologis itu.

Ade juga mengungkapkan, beberapa penyintas mengalami gejala trauma psikologis seperti mimpi buruk, kilas balik kejadian banjir, serta kecenderungan menghindari lokasi atau hal-hal yang mengingatkan mereka pada bencana tersebut.

“Ini adalah tanda bahwa efek banjir tidak hanya merusak infrastruktur, tetapi juga meninggalkan luka emosional yang membutuhkan waktu dan pendampingan profesional untuk pulih,” jelasnya.

Dalam jangka panjang, ketidakpastian mengenai masa depan mulai dari kondisi rumah, pekerjaan, hingga pendidikan anak membuat kualitas kesejahteraan psikologis menurun.

Anak-anak terdampak bahkan menghadapi gangguan konsentrasi, penurunan motivasi belajar, serta keterbatasan dalam berinteraksi sosial karena lingkungan mereka belum sepenuhnya pulih.

Meski menghadapi tekanan mental yang berat, Ade Putri menegaskan bahwa masyarakat Aceh memiliki resiliensi yang luar biasa.

Pengungsian bukan hanya menjadi tempat bertahan hidup, tetapi juga ruang di mana solidaritas sosial tumbuh begitu kuat.

“Meskipun harus tinggal di lokasi pengungsian dengan segala keterbatasan, masyarakat Aceh tetap berusaha bangkit. Gotong royong, saling membantu, dan kekuatan religiusitas menjadi sumber daya psikologis yang penting bagi mereka,” tuturnya.

Ia menambahkan, nilai-nilai keagamaan seperti sabar, tawakal, dan keyakinan bahwa musibah adalah ujian, menjadi penopang batin yang menjaga masyarakat tetap tegar melewati masa sulit.

Di tengah ketangguhan masyarakat, Ade mengatakan bahwa peran pemerintah tidak boleh berhenti pada penyediaan kebutuhan fisik seperti logistik, hunian sementara, atau perbaikan infrastruktur.

Ia menilai bahwa pendampingan psikososial jangka panjang, layanan konseling, dan program pemulihan trauma sangat diperlukan agar masyarakat benar-benar pulih, baik secara fisik maupun mental.

“Harapannya, pemerintah juga harus segera mengambil langkah yang strategis dan serius untuk menangani permasalahan ini,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI